Mengenal Mohammad Natsir Sang Pendamai, Berdamai dengan PRRI
Bagikan

Mengenal Mohammad Natsir Sang Pendamai, Berdamai dengan PRRI

PRRI yang pada awalnya dimaksudkan sebagai gerakan moral untuk menekan Soekarno agar kembali kepada konstitusi, ternyata berkembang menjadi gerakan militer dan kemudian dinilai sebagai pemberontakan

Tahun-tahun Awal Kemerdekaan Republik Indonesia

Kemerdekaan dan kedaulatan adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan dan dipertahankan dalam keadaan bagaimanapun juga. Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur II tidak secara otomatis bermakna kedaulatan penuh atas diri, tanah, udara, juga kebangsaan Indonesia telah diraih. Selepas proklamasi itu, bangsa Indonesia justru memasuki babak baru dengan ujian yang baru, yakni memerintah diri sendiri, mengatur urusan bangsa secara berdikari, menjaga kedaulatan dan amanah rakyat, juga mempertahankan kemerdekaan dari serangan-serangan Belanda. 

Pada masa revolusi, keadaan bangsa Indonesia yang amat beragam ditambahi dengan kondisi karut-marut perang, pemberontakan, dan gejolak sosial. Lebih dari sepuluh tahun, keadaan ekonomi tak kunjung membaik. Inflasi melonjak tinggi hingga 65%. Kemiskinan menerjang semua daerah. Banyak perkebunan dan instalasi industri yang rusak berat. Jumlah penduduk juga meningkat sangat tajam, tetapi produksi pangan, khususnya beras, menurun sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan.1 Di sisi lain, negara membangun proyek-proyek mercusuar dan banyak menantang perang, di antaranya perebutan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Pada akhirnya, pengorbanan terbesar kembali ditumpukan kepada rakyat. Rupanya, proklamasi tidak serta merta membawa bangsa Indonesia kepada kesejahteraan dan kemakmuran. Masih banyak yang perlu diperjuangkan untuk mencapainya.

Lepas dari rentetan peperangan dan diplomasi di sepuluh tahun pertama kemerdekaan, pergolakan sosial di berbagai daerah justru meningkat. Dalam keadaan ekonomi yang berat itu, pembangunan dan kesejahteraan daerah hampir tak terurus. Dana dari pemerintah pusat sulit diharapkan. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan bagi devisa negara seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan tidak memperoleh pembiayaan yang berimbang. Hampir seluruhnya masuk kas pemerintah pusat. Otonomi daerah pun tak ada. Keadaan wilayah lain di luar empat daerah di atas tentu lebih sulit. Kegoncangan tak terhindarkan. Akhirnya, segala cara terpaksa ditempuh untuk memenuhi kebutuhan hidup karena pemerintah dianggap kurang tanggap pada persoalan ini.

Pada tahun 1956, dipelopori oleh para tentara, pergolakan di daerah-daerah semakin meningkat. Di Minahasa, Makasar, Sumatera Utara, bahkan Jakarta, terjadi penyelundupan barang ekspor2 secara besar-besaran yang bermotif politik dan dilindungi kekuatan militer setempat. Alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan bagi pegawai pemerintah daerah, pembangunan daerah serta para prajurit3. Kala itu, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng4 mengambil alih pemerintahan sipil di Sumatera Tengah.5 Dua hari kemudian, Kolonel Maludin Simbolon selaku Panglima Tentara dan Terotorium I yang berkedudukan di Medan, mengambil alih pemerintahan sipil di Sumatera Utara, sekaligus menyatakan keadaan darurat perang di wilayahnya, dan untuk sementera waktu, melepaskan hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta.6 Aksi ini diwadahi oleh Dewan Gajah yang terbentuk beberapa bulan sebelumnya. Kemudian, disusul pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan pada Januari 1957. Maka, pada tahun 1957 itu, hampir seluruh Sumatera telah  dipegang oleh tentara dan lepas hubungan dari pemerintah pusat.

Pergolakan juga terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Di Sulawesi, Letkol H.N.V. Sumual selaku Panglima Tentara dan Terotorium VII Indonesia Timur membentuk Dewan Manguni. Lalu, pada 2 Maret 1957, diumumkanlah Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Makasar bersamaan dengan pernyataan bahwa seluruh wilayah Indonesia Timur dalam keadaan bahaya perang.7  

Di tengah kemelut yang demikian, pada 21 Februari 1957, PresideaSoekarno menyampaikan pidato konsepsinya yang disiarkan langsung oleh RRI ke seluruh Indonesia8. Bukan meredakan keadaan, pidato ini justru menambah ketegangan politik negara. Pro dan kontra, di tengah masyarakat, tak terhindarkan. Masyumi dan Partai Katholik secara jelas menolak konsepsi ini. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolaknya samar-samar.9 PNI dan PKI menjadi partai yang paling gigih mendukung konsepsi ini. Yang paling disayangkan dari keadaan-keadaan di atas adalah sikap pemerintah, lebih jelasnya Presiden Soekarno, yang telah bulat dan yakin bahwa satu-satunya solusi atas seluruh persoalan bangsa adalah konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin. Tak ada yang lain.

Mohammad Natsir Sang Pendamai

Dalam riwayat kehidupan M. Natsir, dapat dicermati mengenai pengabdian, kedisiplinan, serta perwujudan cintanya dalam membina negara dan bangsa Indonesia. Tak kenal rezim, tak takut pada penguasa. M. Natsir berperan di banyak persoalan bangsa, baik di daerah, tingkat nasional hingga dunia internasional. Tata pergaulan politiknya pun dikenal tanpa kekerasan. M. Natsir adalah seorang negarawan yang memiliki kepribadian dan sikap yang dapat  menyatukan semua elemen bangsa. Ia boleh dikatakan pemimpin bagi umat Islam di Indonesia. Jasanya pun amat penting bagi keberlangsungan negeri.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, sebagai Menteri Penerangan RI, Mohammad Natsir datang ke Bukit Tinggi untuk mengatasi “Peristiwa 3 Maret 1947” di sana. Peristiwa 3 Maret itu merupakan pergolakan  dari golongan yang tidak puas dan merasa bahwa revolusi di Sumatera Barat terlalu lamban. Perseteruan terjadi antara beberapa anak TNI dengan beberapa anak dari Hizbullah. Tetapi, timbul tuduhan bahwa yang memberontak itu ialah Masyumi.10 Kala itu, Natsir datang untuk menyelidiki dan menyelesaikan dengan memberikan pengarahan dalam kapasitasnya sebegai menteri. Sepulangnya ke Jakarta, perkara itu dilanjutkan ke sidang pengadilan negeri di Bukit Tinggi dan dapat diselesaikan dengan baik beberapa waktu kemudian.

Lalu, saat Belanda masih berusaha untuk kembali menguasai Indonesia, terjadi tarik menarik yang amat kuat dalam proses diplomasi dan pengakuan kedulatan RI. Gagasan van Mook dan terbentuknya BFO (Byzonder Federal Overleg) menjadi jalan diresmikannya Republik Indonesia Serikat (RIS) di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949. Tanggal ini pun sampai sekarang masih menjadi tanggal resmi Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ketika itu, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanya menjadi salah satu negara bagian RIS dengan Yogyakarta sebagai ibukotanya. Selainnya, ada Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan Negara Sumatera Timur ditambah sembilan daerah otonom lain.

Bentuk negara federal bukanlah aspirasi dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Akibatnya, banyak tuntutan dan demonstrasi di daerah agar RIS dibubarkan dan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Integrasi Indonesia kala itu di ujung tanduk, di antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain saling tak percaya sampai bermusuhan. Negara di ambang perang saudara.

Keadaan ini amat mengkhawatirkan M. Natsir. Setelah melalui lobi-lobi panjang ke daerah-daerah, M. Natsir, ketika itu, hadir memberi jawaban atas kegelisahan rakyat Indonesia melalui pidatonya di parlemen pada 3 April 1950. Pidato itu yang dikenal dengan "Mosi Integral Natsir". Demi menghindari perang antarnegara bagian yang bisa memakan korban rakyat yang lebih banyak, M. Natsir yang saat itu sebagai Ketua Fraksi Masyumi mengajukan gagasan, semua negara bagian untuk sama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Pada akhirnya, NegaraKesatuan Republik Indonesia pun resmi lahir kembali pada 17 Agustus 1950.

Tiga tahun berselang, pada tahun 1953, M. Natsir berhasil melunakkan hati tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara.  Tuntutan Aceh untuk menjadi provinsi tersendiri masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah pusat. Ketimbang Pemerintah harus melakukan tindakan kekerasan di Aceh, melalui radio, M. Natsir menyatakan pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang tentang otonomi Aceh kepada parlemen.11 Meskipun masa tenang di Aceh tak berlangsung lama, sikap pribadi yang tidak sampai hati untuk berperang dengan saudara sendiri ini dapat mengulur konflik di Aceh ini.

Masih berkenaan dengan DI/TII, pada tahun 1949, M. Natsir yang ditunjuk oleh Perdana Menteri M. Hatta sempat mengirim surat kepada Kartosoewirjo yang berisi ajakan damai. Meski Kartosoewirjo memilih tidak menyurutkan langkahnya, ia tetap menuliskan balasan yang isinya penolakan dengan penuh hormat. Di dalam surat, Kartosoewirjo mengatakan, surat Natsir datang terlambat dan ia tak bisa menelan ludah yang telah dimuntahkannya.12 Usaha M. Natsir melunakkan hati Kartosoewirjo terus dilakukan pada masa-masa  berikutnya. Hubungan di antara mereka terus terjalin. Bahkan, wasiat terakhir Kartosoewirjo kepada pengikutnya berbunyi, “Jika aku mati, kalian ikut Natsir.”13  

Tak hanya sampai di sana. Sewaktu di dalam rumah tahanan di Madiun, M. Natsir masih juga ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan baiknya, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia. Surat itu diberikan kepada sekretaris pribadi Tengku Abdul Rahman yang secara spontan dibalas dengan undangan untuk hadir ke tempatnya.  Begitu pun perihal kedudukannya di PRRI dan kritik kerasnya terhadap isi dan implementasi Konsepsi Soekarno. Hal itu dilakukan demi menjaga kedamaian dan penegakkan hukum. Negara harus diselenggarakan sesuai konstitusi RI. Gejolak sosial di berbagai daerah yang kian waktu kian berpotensi memecah belah bangsa harus segera diredam.

Penyelewengan Undang-undang dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

Setidaknya ada dua peristiwa yang dilakukan Presiden Soekarno yang dianggap bertentangan dengan hukum ketataengaraan oleh M. Natsir. Pertama, akibat adanya Konsepsi Soekarno, Kabinet Ali II mengembalikan mandatnya pada 14 Maret 1957. Pada waktu penyerahan mandat, sejumlah pimpinan militer mendesak Presiden Soekarno agar menekan Ali  untuk menandatangani dan mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (SOB).15 M. Natsir mempertanyakan sah-tidaknya SOB16 yang ditandatangani perdana menteri demisioner dan dalam keadaan ibukota aman tentram. Kedua, kecaman M. Natsir akan proses pembentukan Kabinet Karya yang dianggap melanggar Undang Undang Dasar. Pada 4 April 1957, Soekarno sebagai presiden menunjuk dirinya sendiri untuk membentuk Zaken Kabinet Ekstra Parlementer dan Dewan Nasional sesuai dengan konsepsinya itu. Presiden Soekarno selaku Panglima Penguasa Perang Tertinggi dalam keadaan negara yang dinyatakan SOB akan menunjuk anggota kabinet  dan dewan nasional yang tidak boleh ditolak. Saai itu, ia menunjuk Ir. Djuanda sebagai perdana menteri.17

Keadaan demikian itu dianggap sewenang-wenang serta menuai banyak kritik dari tokoh-tokoh nasional dan tidak disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi, saat itu, partai pendukung Soekarno hanya PNI dan PKI. Kedekatan Soekarno dengan PKI ini, oleh banyak pihak, khususnya militer, dikhawatirkan dimanfaatkan oleh PKI untuk mengambil alih kekuasaan. Hal itu ditambah lagi dengan gagasan Nasakom yang amat ditentang oleh Masyumi dan umat Islam pada umumnya. Pada kenyataannya, rencana pengambilalihan kekuasaan oleh PKI memang ada, sempat terlaksana tetapi akhirnya gagal. Dalam kondisi seperti itu, beberapa tokoh bangsa seperti Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara, termasuk Soemitro Djojohadikoesoemo beranjak ke Sumatera. Mereka tak hanya bermaksud pergi dan menyelamatkan diri. Mereka bergabung dengan para pemimpin militer daerah untuk menentang dan melawan pemerintah pusat yang melanggar undang-undang dan merugikan bangsa serta negara.

PRRI mendirikan sebuah Dewan Perjuangan yang dipimpin Letkol Ahmad Husein dan menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada 10 Februari 1958. Dewan Banteng melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan Piagam Jakarta yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional dan menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. Tuntutan lainnya, Kabinet Juanda, kabinet pemerintahan Soekarno, harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI.





PRRI mengultimatum, apabila dalam tempo lima kali 24 jam tuntutan tak dipenuhi presiden, maka Dewan Perjuangan menyatakan bebas dari kewajiban taat kepada Ir. Soekarno sebagai kepala negara dan segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan di atas menjadi tanggung jawab dari mereka yang tak mematuhinya terutama Presiden Soekarno.18

Saat itu, Soekarno yang sedang berada di Tokyo menolak tuntutan PRRI. Mendapat penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan tandingan lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan, M. Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan menteri kehakiman, dan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

Jika dibandingkan, masa pergerakan DI/TII lebih lama ketimbang PRRI/Permesta. Akan tetapi, Soekarno menganggap pemberontakan DI/TII tidak lebih berbahaya ketimbang PRRI/Permesta. Seluruh operasi militer yang diutus untuk membereskan “pemberontakan” di Sumatera dan Sulawesi ini, oleh Soekarno, disebut sebagai Pancasila Crusade.19 Padahal, berlainan dengan DI/TII, PRRI/Permesta merupakan suatu gerakan penyelamatan negara dari kesewenang-wenangan pemerintah pusat. Sejarawan Taufik Abdullah menyebut masa ini sebagai “Dasawarsa ideologi yang ditandai dengan kemunculan PRRI/Permesta sebagai antitesa dari tekanan situasi politik yang mengerucut.”20

Herman Nicholas Ventje Sumual mengatakan, gejolak dan protes daerah terhadap pemerintah pusat saat itu sebenarnya refleksi dari keinginan rakyat di daerah-daerah untuk membangun daerahnya.21  Rakyat di daerah-daerah melihat pembangunan tidak semakin maju tapi malah mundur. Secara khusus, Piagam Rencana Pembangunan Semesta (Permesta) merupakan wujud rencana pembangunan dari daerah yang telah mendeklarasikan sejumlah dewan. Ancaman dan gejolak dari daerah yang menganggap pemerintah pusat abai terhadap pembangunan di daerah ini, oleh para pemimpin militer di daerah, diatasi dengan mengambil alih keadaan. Langkah PRRI dianggap sebagai sesuatu yang melanggar konstitusi. Padahal, menurut Sumual, “Kalau dilihatnya dari kacamata undang-undang darurat yang berlaku sekarang (2008), tindakan kami saat itu melanggar. Tetapi, saat itu, yang berlaku adalah undang-undang darurat buatan Belanda.”22 

PRRI/Permesta, oleh pemerintah, ditanggapi dengan keras. Presiden Soekarno mengatakan, “Untuk menghadapi penyelewengan itu dengan tegas dan dengan segala kekuatan yang ada.”23 Kehendak ini pun didukung oleh PM Djuanda, KSAD A.H. Nasution, serta sebagian besar tokoh PNI dan PKI. Setelah itu, dibentuklah Angkatan Perang Republik Indonesia yang menyiapkan lima operasi gabungan untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pada akhir September 1958, PRRI-Permesta dapat dilumpuhkan secara militer, tetapi secara politik, masih terus melakukan perlawanan. Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres Nomor 449/1961 tentang pemberian amnesti umum kepada semua orang yang terlibat dalam PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum 5 Oktober 1961. Selain Dr. Soemitro, seluruh tokoh yang terlibat dengan PRRI/Permesta menyerahkan diri. Namun, amat disayangkan, selepas kembali ke ibukota, para tokoh ini ditangkapi dan dipenjara. M. Natsir sendiri pada akhirnya masuk rumah tahanan militer dari 1962--1966 bersama dengan Sjafroedin Prawiranegara dan Burhanudin Harahap.

Mencermati Kedudukan M. Natsir dalam PRRI Sekali Lagi

PRRI yang pada awalnya dimaksudkan sebagai gerakan moral untuk menekan Soekarno agar kembali kepada konstitusi, ternyata berkembang menjadi gerakan militer dan kemudian dinilai sebagai pemberontakan hingga seluruh tokoh yang terlibat di sana diberi cap pembangkang24. Karena itu, M. Natsir, sosok yang sebetulnya berjasa banyak bagi NKRI ini baru dinyatakan sebagai pahlawan nasional dan diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana setelah 63 tahun proklamasi kemerdekaan dan 15 tahun wafatnya, tepatnya pada 10 November 2008. Bukan berarti gelar pahlawan dan pengakuan itu selalu penting bagi pribadi sang tokoh. Gelar pahlawan yang lambat diiberikan ini justru perlu dimaknai sebagai kadar kesadaran dan kesyukuran bangsa Indonesia akan sejarah bangsanya sendiri serta  alam merdeka yang telah bebas dinikmati.

Dalam keadaan politik yang makin tegang pascapidato konsepsi Soekarno itu, bila saja M. Natsir dan tokoh bangsa lainnya tidak ke Sumatera, menjumpai dan melakukan rapat-rapat dengan tokoh-tokoh militer dan PRRI, boleh jadi pergolakan yang terjadi di daerah tidak dapat dibendung dan menumpahkan korban lebih banyak, hingga merugikan negara lebih besar lagi. Walau bagaimanapun, perlu diakui bahwa M. Natsir adalah sosok kharismatik yang dipercaya oleh berbagai kalangan rakyat Indonesia.

Langkah politik M. Natsir adalah langkah cerdas yang dimaksudkan untuk mengatasi dua keadaan genting sekaligus. Pertama, peredaman gejolak rakyat di daerah yang semakin kuat dan mengarah kepada disintegrasi akibat penanganan yang tak efektif dari pemerintah pusat. Hal ini tentu membangun kesadaran masyarakat mengenai situasi dan kondisi bangsa dan negaranya saat itu. Kedua, mengarahkan keadaan tersebut menjadi suatu aksi yang bertujuan memperingatkan pemerintah pusat yang telah menyeleweng agar kembali mematuhi ketatanegaraan dan perundang-undangan yang berlaku. Gerakan ini, pada akhirnya, menunjukkan kepada bangsa Indonesia dulu dan kini bahwa negara ini harus diurus dengan benar. Rakyat perlu dibela dan dibebaskan dari pemimpin yang berbuat sekehendaknya. Hal itu adalah cita-cita kemerdekaan bangsa ini yang digenggam kuat oleh M. Natsir. Untuk melakukan hal itu, banyak pengorbanan yang harus diberikan. Manusia yang telah menyerahkan hidup dan matinya kepada Tuhan semesta alam tentu tak merasa berat melakukan pengorbanan tanpa pandangan dan penghargaan khusus dari manusia.

Boleh dikatakan, hampir semua pendiri PRRI adalah para pendiri Republik Indonesia. Situasi ketika itu perlu ditelaah dengan cermat dan mereka perlu didudukkan secara tepat, tentunya tidak di kursi pemberontak atau pembangkang. Upaya keras mereka justru bermaksud menyelamatkan negeri dari kezaliman.  

Perlu diakui pula bahwa saat itu, dunia dalam suasana Perang Dingin. Amerika sendiri banyak memberi bantuan pesenjataan. Tidak melihat kepentingan Amerika dalam persoalan ini adalah sebuah hal yang naif. Namun, secara bulat, memandang bahwa M. Natsir dan tokoh lainnya adalah pemberontak bahkan antek Amerika adalah tindakan yang terburu-buru.

M. Natsir dan Sjafroedin Prawiranegara melakukan gerakan ini bukan atas dasar kepentingan Amerika dalam melawan komunisme. Mereka yakin tengah berdiri di atas kebenaran dan tengah menegakkan keadilan. Keyakinan tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan Tuhan ke pundak mereka. Audrey Kahin mengatakan, “Natsir and Sjafruddin had never lost the belief that their struggle would ultimately be successful. Both were intensely devout and retained a strong faith in the justice of their cause.”25


_________________________________________________________________

1M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. Hlm 472

2Diantaranya berupa karet, kopra dan gula

3Kehidupan tentara yang tahun 1950 berpangkat bintara sangat miskin, memprihantikan dan tinggal di asrama sangat tidak manusiawi

4Dewan Banteng adalah sebuah divisi perjuangan melawan Belanda pada masa revolusi di Sumatera Tengah. Pada 20 – 24 November 1956 diadakan reuni para perwira mantan anggota Divisi Banteng di Padang. Reuni itu menghasilkan “pembentukan Dewan Banteng yang diketuai Letkol Ahmad Husein, Komandan Resimen Militer Sumatera Tengah”. Dewan Banteng juga mengeluarkan pernyataan agar dilakukan segera suatu perbaikan yang cepat dan radikal di semua bidang, terutama terhadap para pemimpin negara umumnya dan para pemimpin TNI khususnya.

5M. Dzulfikridin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. MIizan. Jakarta 2010. Hlm 123

6Ibid

7Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. Hlm 124

8Pidato Konsepsi Soekarno pada intinya berisi: 1. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tidak memperbolehkan oposisi karena dinilai tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia, 2. Untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin, harus dibentuk Kabinet Gotong Royong sebagai pengganti kabinet yang ada. Dengan melaksanakan prinsip gotong royong, oposisi akan hilang dalam parlemen dan masyarakat, 3. Pembentukan Dewan Revolusioner (yang diganti dengan Dewan Nasional) anggotanya terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan akan dimpimpin langsung oleh presiden dan berfungsi sebagai pemberi nasihat kepada pemerintah.  

9Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. Hlm 125

10Hamka. “Persahabatan 47 Tahun”. Majalah Panji Masyarakat No. 251 tahun XX, 15 Juli 1978/ 9 Sya’ban 1398, hlm 17—23.

11Mohammad Natsir. Politik Melalui Jalur Dakwah. Media Dakwah. Jakarta. 2008. Hlm 38.

12Nugroho Dewanto (ed.). Seri Buku Tempo Kartosoewijo Mimpi Negara Islam. Jakarta. Tempo. 2010. Hlm 48-49

13Seri Buku Tempo Kartosoewijo Mimpi Negara Islam. Hlm 49

14Politik Melalui Jalur Dakwah. hlm 48

15Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. 125

16SOB adalah kepanjangan dari staats van oorlog en bleg  yang berarti negara dalam keadaan bahaya perang.

17Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. 126

18Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. Hlm. 132

19Saafroedin Bahar. “PRRI-Permesta: Sebuah Kasus Keterkaitan antara Integrasi Nasional dengan Perang Dingin.” Jurnal Studi Amerika, Vol IV, Jan – Jul 1999. Jakarta. Hlm 28-49

20Taufik Abdullah. “Natsir dalam Lintasan Sejarah bangsa”. 100 Tahun Mohammad natsir, Berdamai dengan Sejarah. Jakarta. Republika. 2008. Hlm xxvii

21Herman Nicholas Ventje Sumual. “M. Natsir dan PRRI”. 100 Tahun Mohammad natsir, Berdamai dengan Sejarah. Hlm 253-255

22Ibid. “M. Natsir dan PRRI”. 100 Tahun Mohammad natsir, Berdamai dengan Sejarah. Hlm 258. Dalam undang-undang darurat yang berlaku saat ini, keadaan perang baik darurat perang ataupun sipil hanya bisa dideklarasikan oleh presiden atau DPR. Sementara menurut undang-undang darurat yang berlaku saat PRRI terjadi, dalam pasal 37 UU Darurat buatan Belanda itu dinyatakan bahwa panglima perang bisa menyatakan keadaan darurat perang.

23Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. Hlm. 134

24Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa dalam Dua Orde Indonesia. 130 

25Audrey R. Kahin. Islam, Nationalism and Democracy. Singapura. NUS Press. 2012. Hlm. 139. Artinya: “Natsir dan Sjafroeddin tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa perjuangan mereka akhirnya akan berhasil. Keduanya amat teguh dan sangat yakin bahwa keadilan akan berpihak pada mereka”.