Merawat Kesadaran Sejarah Kita
Bagikan

Merawat Kesadaran Sejarah Kita

Sebagai akar pada pohon kehidupan, sejarah selalu penting untuk membentuk diri dan kepribadian. Tanpa memahami sejarah yang baik dan tulen, manusia hanya akan diculasi oleh orang-orang yang mendapuk dirinya faham sejarah sambil membawa kepentingan pribadi atau kelompok

Sejarah dan Pohon

Sejarah adalah suatu objek kajian yang tak terlalu banyak diminati di Indonesia. Hal ini setidaknya tampak dari tidak difavoritkannya jurusan ilmu sejarah dalam ujian seleksi masuk PTN. Alih-alih menjadi jurusan di universitas swasta, passing grade ilmu sejarah di universitas negeri selalu jauh di bawah ilmu ekonomi, akuntasi, hubungan internasional, psikologi, atau hukum. Dalam alam berfikir modern, masa lalu yang tersusun membentuk masa kini itu cenderung ditolak karena dianggap sudah usang dan tak terlalu diperlukan bagi masa kini dan masa depan (Mihardja, 1977, hlm 18). Sejarawan juga tidak selalu mendapat posisi penting dalam kebijakan dan pembangunan selayaknya ahli ekonomi, konsultan politik, atau pengamat hubungan internasional.

Ungkapan “jas merah” presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, sering digunakan sebagai pemanis bibir kala masa lalu diperlukan sebagai legitimasi kepentingan dan urusan pada masa kini. Selain itu, secara umum, sejarah masih digunakan untuk dua fungsi saja, edukasi dan rekreasi. Sebagai edukasi, sejarah adalah ilmu, cara mengetahui masa lalu, dan sumber inspirasi dalam pendidikan serta kehidupan. Sebagai rekreasi, bangunan bersejarah, museum, dan diorama termasuk tempat wisata yang ramai dikunjungi. Meski demikian, jika sejarah bukan objek kajian yang penting dan berharga, semestinya kajian ini sudah mati dan tidak berkelanjutan. Kenyataannya, meskipun tak ramai peminat, kajian sejarah terus ada, dicari, dan digunakan. 

Secara sederhana, sejarah diartikan sebagai peristiwa pada masa lampau. Menurut etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon. Kata syajaratun ini sering dikaitkan dengan silsilah, asal usul, riwayat yang skemanya dianggap menyerupai pohon lengkap dengan cabang, ranting, dan daun. Pohon dianggap perlambang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan yang dinamis serta beriringan dengan ruang dan waktu.

Penggunaan kata sejarah untuk menunjukkan masa lalu dalam bahasa Indonesia ini sering dikaitkan dengan historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, riwayat, atau tambo yang lebih banyak memuat silsilah dan keturunan, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh yang berarti waktu atau penanggalan. Karena dianggap kurang bertaut dengan makna dan konsep ilmu modern, akhirnya ada kecenderungan mendekatkan makna kata ‘sejarah’ pada bahasa Yunani, yaitu ‘historia’, yang berarti mengusut pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian. Historia dalam bahasa Inggris menjadi history, secara sederhana berarti cerita masa lalu manusia.

Jika mencermati ulang banyaknya kosakata penting dan konseptual dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, tak bijak bila kita menutup mata atas besarnya pengaruh pandangan-hidup Islam dalam perkembangan bahasa Indonesia pada masa awal. Rugi jika terlalu terburu-buru merujuk kata sejarah kepada makna historia dan history tetapi tidak pada konsep Islam. Kata syajaratun bisa ditelusuri lebih dalam lagi pada al-Quran surat Ibrahim 24-25 dengan bunyi: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik (syajaratun), akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya di setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. 

Sebagai perumpamaan kalimat yang baik, kata syajaratun dalam ayat ini dimaknai oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam kehendak dan hukum Tuhan. 

“Sejarah dalam pandangan Islam bermula dari sebuah ajaran yang difahami dan dikembangkan oleh manusia yang kemudian tumbuh seperti pohon, yakni kehidupan (syajarah). Pohon itu kemudian memberikan rahmat atau buahnya kepada manusia lain dengan melalui hukum dan kehendak Tuhan. Dapat dikatakan, sejarah dalam pandangan Islam adalah interaksi antara nilai dan praktek kehidupan manusia yang dinaungi oleh kehendak dan hukum Tuhan. Itulah sejarah yang tumbuh dan itulah sejarah yang hidup.” (Zarkasyi, 2009)

Mempelajari sejarah tidak hanya soal mencari, menemukan, dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya fakta. Meneliti sejarah juga bukan sekadar perkara mengkritisi dan memberi penfsiran paling objektif atas kejadian-kejadian atau semata kumpulan lini masa dan periode dari zaman ke zaman yang dinamis. Sejarah menjadi sangat penting karena dapat membantu manusia untuk menemukan kebenaran dan kenyataan yang sesungguhnya mengenai kehidupan. Mendalami sejarah dapat membawa seorang manusia menemukan jati diri sampai ke Penciptanya. Inti jiwa seseorang serupa dengan akar pohon, tidak tampak, tertutup di dalam tanah, tapi penunjang utama kehidupan pohon. Tanpa akar yang kuat dan kokoh menghujam ke dalam tanah, manusia akan kehilangan makna dirinya, kemusnahan naungan untuk tumbuh sekaligus kehidupannya.  

Sekilas tentang Sejarah Islam di Indonesia  

Pada dasarnya hampir setiap Muslim memahami pentingnya kedudukan sejarah dalam kehidupan. Sebab, paling tidak seorang Muslim pasti pernah belajar sirah nabawiyah meskipun sekilas. Melalui sirah, Muslim tak hanya memenuhi kesaksian secara lisan, tapi juga mengenali keislamannya, dan nabi pembawa risalah yang dipegangnya. Bahkan, sirah juga menjadi dasar penting atas lahirnya berbagai ilmu lain dalam Islam, seperti tafsir al-Quran, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu hadits, sampai bahasa Arab.

Muslim harus menjamin dirinya dekat dengan sejarah nabi karena banyak sebab. Di antaranya, agar amal ibadahnya dapat diterima oleh Allah, dapat mengambil hikmah dan teladan dari manusia dan generasi terbaik yang berasal dari 1.400 tahun silam, juga menumbuhsuburkan rasa cinta dan kekuatan dalam menghadapi tantangan zaman. Muslim berbondong-bondong mempelajarinya karena keimanan. Muslim sudah punya cukup kesadaran jika sirah nabawiyah adalah akar diri yang perlu dipelihara. 

Akan tetapi, pencarian akar diri itu seperti tak cukup ditemukan dalam sejarah Indonesia. Tidak sedikit, Muslim Indonesia yang merasa cukup mempelajari sejarah bangsanya di bangku sekolah yang sifatnya terbatas dan penuh kepentingan itu. Kenyataan seperti ini perlu diakui menjauhkan Muslim dari keindonesiaanya. Susah payah mencari akar diri sampai ke 1.400 tahun lalu, tapi ada gerowong besar di tengah selayak jurang yang sulit sekali untuk dilompati. Padahal, sejarah adalah kesinambungan. Tidak masuk akal bila Islamnya nabi dengan Islam di Indonesia berbeda atau tidak terhubung dengan apa pun juga.  

Secara umum, wacana yang lebih populer adalah Islam baru bersentuhan dengan masyarakat Nusantara pada awal abad ke-13, yang ditandai dengan kemunculan Kerajaan Samudra Pasai. Sebagai kerajaan Islam pertama, Samudra Pasai diakui eksistensinya melalui batu nisan Raja Malik Al-Saleh yang bertanda 1427 di pemakaman Blang Mei. Ini berlangsung setelah keruntuhan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke-13. Hal ini menggiring cara fikir yang terlalu bergantung pada periodisasi. Seolah-olah tanpa dinamika berarti, setelah kerajaan Buddha terbesar di Nusantara runtuh, barulah kerajaan Islam pertama lahir. Padahal, Raja Sri Indravarman sudah melakukan korespondensi dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 100 H atau 718 M. Bahkan, di kompleks pemakaman Blang Mei terdapat pula batu nisan Sultan Samudra Pasai sebelum al-Malik al-Saleh yakni Sultan al-Malik al-Zahir yang bertahun 1326 (al-Attas, 2011, hlm 19). Lebih lanjut, Prof. Al-Attas menyebut, raja pertama Samudra Pasai bukanlah Sultan Malik Al-Saleh melainkan Sultan Muhammad yang mendirikan kerajaan ini pada abad ke-9 atau ke-10 (al-Attas, 2011, hlm 25).

Dalam keadaan yang demikian, semakin banyak umat Islam yang serius mengkaji sirah nabawiyah dalam berbagai kelas dan seminar, tetapi masih sedikit yang menaruh perhatian agak dalam akan sejarah dan hubungan Islam dengan Indonesia. Malah tak sedikit pula yang menganggap keduanya berdiri sendiri tanpa ada keterhubungan yang terang. Munculnya polemik antara konde dan jilbab atau wacana Islam Nusantara semestinya dipandang wajar karena Muslim di Indonesia kesulitan menemukan kelekatan antara sejarah dan kebudayaan bangsa dengan Islam secara wajar. 

Upaya-upaya Muslim Indonesia untuk lebih serius mempelajari sejarah bangsanya memang sudah ada dan perlu dihargai. Akan tetapi, kalau pun ada Muslim Indonesia yang berkeyakinan bahwa Islam telah bersentuhan dengan Nusantara sejak sebelum abad ke-13, rujukannya belum memadai. Ada pula kecenderungan untuk mengisi jurang itu dengan sekadar klaim dan mencari legitimasi sejarah yang terburu-buru. Misalnya, beberapa broadcast di sosial media mengenai asal muasal kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-7 yang melibatkan Khulafaur Rasyidin. Dalam kabar berantai itu disebut-sebut, Ali bin Abi Thalib pernah datang dan berdakwah di wilayah Indonesia.

Broadcast semacam itu mungkin bisa membangkitkan semangat keislaman dan keindonesiaan. Namun, belum pula berhasil menunjukkan keterhubungan keduanya. Belum tampak kedudukan Nabi Muhammad dalam sejarah Nusantara secara memadai dan bertanggung jawab. Beberapa tulisan yang beredar secara pribadi seperti itu memang menampilkan daftar pustaka, tetapi bukan hanya sulit ditelusuri secara ilmiah, seringkali tidak diketahui secara jelas sosok penelitinya. Walhasil, bukan membuat umat Islam tambah pintar dan cinta pada Indonesia, boleh jadi justru sebaliknya.

Seorang ahli historiografi Melayu, Prof. Tatiana Denisova, menyebut karya-karya fundamental yang kompleks, yang sesungguhnya bersifat ilmiah mengenai sejarah Islam di kepulauan Nusantara atau tanah Melayu masihlah kurang (Denisova, 2017, hlm 84). Para orientalis memang sudah memulai kajian-kajian tidak formal mengenai sejarah Nusantara sejak abad ke-18 dan berkembang cemerlang pada abad ke-20. Boleh dikatakan, pusat-pusat kajian Nusantara dan tanah Melayu ketika itu lahir dan menghasilkan penelitian yang hebat dan banyak berjasa. Akan tetapi, lazimnya mereka kebanyakan mengambil tradisi non-Islam sebagai subjek kajian (Denisova, 2017, hlm 84). Misalnya, tradisi-tradisi lama (sebelum Islam), kebudayaan, sejarah, dan adat istiadat Hindu-Budha. Belakangan, program studi ilmu sejarah di universitas ternama pun cenderung melakukan kajian dan penelitian tentang sejarah yang bersifat kontemporer (early modern history) dan dalam situasi modern yang kerangka berfikirnya berasal dari abad ke-20. 

Kalau orientalis tidak banyak mengkaji Islam di Indonesia dan kepulauan Melayu Nusantara, tentu saja wajar. Penulisan sejarah tidak pernah bisa sepenuhnya dilepaskan dari subjektivitas sang penulis. Apalagi, sejak zaman penjajahan, banyak pengkaji menganggap Islam sebagai faktor negatif dalam proses perkembangan sejarah Nusantara. Hal ini terjadi karena orang Melayu Islam selalu dianggap oleh orang Eropa sebagai pesaing utama dalam perjuangannya mengawal jalan-jalan perniagaan dan mencapai monopoli perdagangan di Asia Tenggara (Denisova, 2017, hlm 84). 

Dalam dies natalis sebuah fakultas humaniora kampus ternama di Indonesia, satu tahun silam, terpampang sebuah publikasi berukuran besar mengenai “Rempah dalam Linimasa” di salah satu gedungnya. Di sana, tercantum kronologi yang melompat dari abad satu ke abad 12. Berikut ini sebagian keterangan dalam publikasi dimaksud secara berurutan:

1.1550 BC – 400 BC

Papirus Eber yang ditemukan di Mesir mengungkapkan penggunaan berbagai rempah dan herba untuk pengobatan. 

2.Setelah 400 BC

Hipocrates membuat sistem ilmiah mengenai pengobatan yang mengilustrasikan penggunaan herba untuk mengurangi rasa sakit dan mengobati penyakit. Perdagangan rempah dan herba sangat berkembang serta menguntungkan dunia Arab dan India. 

3.Abad Satu

Jalur Sutera terbentuk. Bangsa Romawi menggunakan rempah dan herba yang dibeli dari India untuk parfum, kosmetik, obat-obatan untuk keperluan memasak.

4.Abad 12

Selama abad pertengahan, arus barang dari Timur ke Barat berkurang sampai dibuka jalur-jalur dagang baru oleh tentara salib yang baru kembali dari Tanah Suci. Perdagangan rempah dan herba pun berkembang, Venisia dan Genoa menjadi pusat jalur perdagangan baru.

5.Abad 13

Pada 1270, Marco Polo melakukan penjelajahan samudera untuk menemukan jalur baru menuju Timur Jauh untuk menghindari pedagang Arab yang tengah mengontrol perdagangan rempah dan menetapkan harga tinggi.

6.Abad 15

Christopher Colombus berlayar ke Spanyol ke arab barat mencari rute baru menuju India Barat. Vasco da Gama berlayar menuju Timur, mencapai Malabar, pantai barat India, dan kembali ke Portugal dengan kargo penuh rempah, herba, dan perhiasan.

7.Abad 16

Pada 1510, terjadi kontak antara armada Portugal dan Kesultanan Ternate yang mengontrol perdagangan lada dan cengkeh.

Pada 1520, Alfonso de Albuquerqe beserta armada Portugal tiba di Maluku (Pulau Banda) dan memenuhi kargo dengan pala dan bunga pala lalu mengirimkannya ke Seville hingga membawa laba yang sangat menggembirakan. Mereka lalu mulai memonopoli produksi dan perdagangan pala dan cengkeh di sana. Di saat yang sama, Spanyol tiba di Kesultanan Tidore dan bersekutu melawan dominasi Kesultanan Ternate dan Portugal.

Pada1529, Perjanjian Saragosa antara Portugal dan Spanyol ditandatangani.

Pada 1575, Sultan Baabullah berhasi mengusir Portugal dari Ternate.

(lini masa berlangsung sampai abad ke-19, mulai terbentuknya EIC dan VOC pada awal abad ke-17, penguasaan Pulau Banda oleh VOC, letusan gunung api di Pulau Banda yang menyebabkan tsunami dan musnahnya separuh tanaman pala, bersatunya Kesultanan Ternate dan Tidore melawan Belanda dengan dibantu Inggris, hingga, pada 1817, Pulau Banda dikembalikan kepada Belanda).

Tanpa perlu dicermati baik-baik, tidak sulit menilai publikasi ini merupakan Eropa sentris dan seolah-olah menghilangkan 11 abad kehidupan rempah manusia Indonesia. Terlalu naif jika dalam rentang abad ke-7 hingga 13, kala Majapahit dan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan, tidak ada satu saja peristiwa penting yang terjadi berkait dengan perdagangan rempah di Nusantara. Dalam publikasi ini pula, bangsa Indonesia ditempatkan sebagai pelengkap dan objek. Nama tokoh Indonesia yang muncul hanya Sultan Baabullah dan Sultan Nuku sementara itu ada delapan nama tokoh dari Eropa yang tertera. Nama Sultan Baabullah dan Sultan Nuku sendiri baru muncul pada masa belakangan dalam konteks melawan kolonialisme dan monopoli perdagangan bangsa Eropa. 

Kajian dan publikasi semacam inilah yang menimbulkan mitos mengenai persentuhan pertama orang Nusantara dengan Islam baru berlangsung pada abad ke-13 dan dibawa oleh pedagang dari India. Muslim kesusahan menemukan kajian sejarah yang bisa menunjukkan pengaruh Islam dalam mengembangkan kebudayaan dan pemikiran di Indonesia. Kajian mengenai Islam yang mampu memajukan ilmu, falsafah, dan bahasa Melayu di bumi Nusantara yang berlangsung dalam kurun beberapa abad luput dari perhatian. Karena kekayaan dan kehebatannya, kajian orientalislah yang umumnya dijadikan rujukan utama.  Sementara, sumber-sumber sezaman mengenai sejarah sebelum abad ke-13 sulit diakses dan terbatas. Selain perlu keahlian khusus, yang sulit dan terbatas itu pun sering disalahfahami sebagai mitos atau sumber tradisional yang sedikit sekali nilai kebenarannya (Denisova, 2011, hlm 40).

Lini masa rempah di atas mungkin baru gambaran kecil mengenai kecenderungan untuk mengambil sumber-sumber Eropa dalam menuliskan sejarah bangsa. Selain itu, cara berfikir yang ditampilkan juga tidak menunjukkan kedaulatan dan masih mengafirmasi Belanda sebagai pemilik dan pembangun wilayah Indonesia. Contohnya dapat dilihat pada kalimat, “Pada 1817, Pulau Banda dikembalikan kepada Belanda”. Kalaulah hal semacam ini benar terjadi secara umum dalam cakupan yang luas maka ketidakhadiran Islam secara memadai dalam sejarah Indonesia menjadi sesuatu yang tak terlalu mengherankan. 

Terputusnya Sejarah Indonesia di Abad Ke-20

Keadaan demikian diperparah juga dengan keterputusan sejarah bangsa dari masa sebelum abad ke-20. Sutan Takdir Alisjahbana menyebut, demi mencapai kemajuan Indonesia yang sempurna, Indonesia harus mengarahkan pandangannya pada bangsa-bangsa yang berjaya, yakni Eropa, Amerika, dan Jepang. Baginya, bangsa-bangsa ini memiliki semangat intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme yang mengantarkan pada kejayaan dan ketinggian peradaban (Mihardja, 1977, hlm 40). STA juga meyakini, keempat hal ini adalah beberapa faktor penting bagi wujudnya kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. 

Wacana tentang lahirnya nama Indonesia dan keindonesiaan dianggap jasa besar kaum terpelajar yang berasal dari bangsa Eropa. Sebut saja, James Richardson Logan yang menyebut kepulauan di dekat wilayah India ini sebagai ‘Indunesia’ dalam Journal of  Indian Archipelago and Eastern Asia (1850). Indunesia berasal dari kata indus dan nesos yang berarti selatan dan kepulauan. Dalam Leading Characteristics of The Papuan, Australian, and Malaysian-Polinesian Nations (1850), George Samuel Windsor Earl juga mengusulkan nama Indunesia atau Melayunesia bagi Kepulauan Melayu dan Kepulauan Hindia. Nama Indunesia ini menginspirasi perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda untuk menamai Indische Vereeniging (1908) menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (1922). Itulah nama organisasi pertama dengan menggunakan sebutan “Indonesia”. 

Sutan Takdir Alisjahbana menyebut, masa sebelum abad ke-20 ini sebagai pra-Indonesia. Masa pra-Indonesia ini dikatakan zaman jahiliyah yang dianggap tidak memiliki sambungan atau terusan dengan zaman Indonesia baru yang dimulai sejak abad ke-20 (Mihardja, 1977, hlm 16). STA membangun argumentasinya dengan mengatakan bahwa cita-cita keindonesiaan yang kini ada tidak memiliki kaitan apa pun dengan tokoh, kerajaan, maupun kebudayaan pada masa sebelumnya. Bahkan, pada masa pra-Indonesia itu, tidak dapat ditelusuri semangat persatuan dan kemerdekaan mengenai Indonesia melainkan semangat kedaerahan dan primordialisme yang kuat. Dengan menyambung kebangsaan Indonesia dengan masa lalu yang lebih lampau berarti mengundang perselisihan (Mihardja, 1977, hlm 17)

Prof. Tatiana Denisova menuliskan penjelasan Prof. al-Attas mengenai ketidakpatutan kita menafikan semua kajian orientalis mengenai Nusantara. Karena kekayaan dan kehebatannya, kajian orientalislah yang umumnya dijadikan rujukan utama. Bagi Prof. al-Attas, para peneliti Kepulauan Melayu dari Eropa  yang terdiri dari para ahli prasejarah, etnolog, arkeolog, ahli filologi, sosiolog, dan cendekiawan lain dalam ilmu sosial, telah dengan cakap dan cerdas menguraikan temuan yang menyumbangkan khazanah intelektual yang berharga. Kita bahkan perlu secara tulus mengakui dan menegaskan hal-hal yang yang benar dalam penafsiran mereka tentang sejarah kita (Denisova, 2017, hlm 83-84). Sementara itu, sumber-sumber sezaman mengenai sejarah sebelum abad ke-13 memang sulit diakses dan terbatas. Selain perlu keahlian khusus, beberapa yang sulit dan terbatas itu pun sering disalahfahami sebagai mitos atau sumber tradisional yang sedikit sekali nilai kebenarannya (Denisova, 2011, hlm 40).

Indonesia dan keindonesiaan adalah ciptaan abad ke-20. Segala hal yang menyatukan bangsa ini tampaknya lebih banyak berasal dari dinamika sejarah abad ke-20. Sebut saja Hari Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, kemunculan Perhimpunan Indonesia pada 1922, Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 1928, hingga puncaknya Proklamasi Kemerdekaan pada 1945. Tak jarang kajian mengenai para raja dan sultan pada masa-masa sebelumnya penuh dengan narasi feodalisme, perselisihan, perebutan kekuasaan, dan keculasan. Seolah-olah itu saja warisan dari abad 18, 17, 16, atau masa-masa sebelumnya, sama sekali tak layak diambil sebagai bagian dari susunan kebangsaan. Abad ke-20 adalah tanda dari Indonesia baru yang lepas dari feodalisme dan tradisi yang mengikat bangsa ini ke masa lalu yang berisi penderitaan.

Jangankan mengkaji hikayat, babad, dan tambo secara serius, bangsa ini lebih sering memandang sebelah mata, bahkan borok terhadap kerajaan dan kesultanan pada masa lampau, khususnya sebagai yang kuno dan tidak memberi warisan peradaban bermakna. Prof. Tatiana Denisova mengingatkan umat Islam di Nusantara, “Kita tidak boleh mengaibkan orang yang pernah hidup beratus-ratus tahun sebelum kita hanya dengan berdasarkan sudut pandangan orang modern. Orang Melayu di zaman dahulu bukanlah orang yang bodoh dan naif. Apabila seorang pengarang chronicle memasukkan suatu cerita ajaib atau mitos dalam karyanya, sudah tentu ada suatu maksud atau mesej yang hendak disampaikan. …..tugas dan tujuan para ilmuwan harus memahami makna maklumat tersebut dan mesej yang hendak dikemukakan.” (Denisova, 2011, hlm 40).  

Demi hadirnya keinsafan, memang diperlukan kebesaran dan keluasan hati untuk menerima dan mengakui kekurangan diri. Hilangnya jati diri kebangsaan agaknya telah dimulai sejak kajian sejarah yang tidak berdaulat. Dalam keadaan yang demikian, kebutuhan jiwa kita akan jati diri dan marwah itu tetaplah mendesak-desak. Pada akhirnya, yang dirujuk adalah kajian umum yang mudah diakses. Kalaupun telah ada kesadaran mengenai sejarah Indonesia yang dikuasai pemikiran Barat, usaha dan alternatif tandingan yang dibuat cenderung terburu-buru dan melanggar kaidah ilmiah.

Sebagai akar pada pohon kehidupan, sejarah selalu penting untuk membentuk diri dan kepribadian. Tanpa memahami sejarah yang baik dan tulen, manusia hanya akan diculasi oleh orang-orang yang mendapuk dirinya faham sejarah sambil membawa kepentingan pribadi atau kelompok. Bukan akar yang kokoh dan mampu memberi nutrisi pada seluruh pohon yang akan diperoleh melainkan kebusukan yang mematikan seluruh diri.

Mari membaca dan menelaah ulang sejarah kita. Apa yang kita fikir fiksi boleh jadi sebetulnya fakta dan yang selama ini kita kira fakta boleh jadi fiksi belaka. Kita perlu sama-sama belajar untuk lebih kritis dan mau menganalisis sedikit lebih dalam mengenai sejarah kita. Jangan lagi sekadar ikut-ikutan atau menelan pengetahuan berdasarkan yang sudah jadi. Kita harus mulai merawat sejarah kita, mengetahuinya bukan hanya pada batang, daun, dan buah, tetapi juga sampai ke akar-akarnya. Inilah rubrik Khazanah Kenusantaraan di antara upaya merawat sejarah kita.

Rujukan:

Achdiyat K. Mihardja (ed). Polemik Kebudayaan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)

Hamid Fahmy Zarkasyi. Syajarah. Republika Online. (republika.co.id/berita/no-channel/09/08/1369065-syajarah, 2009)

Tatiana Denisova. “Historiografi Islam di Nusantara: Perspektif Oriental Studies dan Kritik Al Attas”. (Islamia Volume XI, No.2 Agustus 2017, Jakarta: INSISTS, 2017)

Tatiana Denisova. Refleksi Historiografi Alam Melayu. (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2011)

Syed Muhammad Naquib al-Attas. Historical Fact and Fiction. (Kuala Lumpur: Penerbit UTM, 2011)