Persoalan Kaum Muslim
Bagikan

Persoalan Kaum Muslim

Melalui syair ini, kita dapat melihat kelihaian berbahasa Prof. Al-Attas yang amat tinggi. Dalam helaan 28 baris, nuansa ritmis dan ketertataan pilihan kata tetap terjaga tanpa sedikit pun mengganggu makna yang ingin disampaikan.

Setelah berkenalan dengan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Risalah Untuk Kaum Muslimin pekan lalu, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba mengulas halaman-halaman pertama buku ini. Risalah untuk Kaum Muslimin terdiri dari xii halaman Pendahuluan dan 209 halaman isi yang terbagi ke dalam 74 perenggan. Masing-masing perenggan membahas tema-tema penting seperti persoalan kaum Muslimin, faham agama, faham keadilan, faham ilmu, dan sebagainya. 

Sebelum masuk ke perenggan pertama, Prof. Al-Attas memberi kita rangkaian syair indah di halaman pertama. Kita akan melihat syair pujian bagi Allah Swt disertai pernyataan akan keesaan zat, keindahan nama, dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Ini ialah tradisi para ilmuwan Islām dalam membuka karya mereka. Di dalamnya, kita dapat melihat kerendahan hati dan kesadaran akan kedudukan sebagai hamba, sesuatu hal yang sangat jarang kita dapati dalam tradisi ilmu modern saat ini.

Melalui syair ini, kita dapat melihat kelihaian berbahasa Prof. Al-Attas yang amat tinggi. Dalam helaan 28 baris, nuansa ritmis dan ketertataan pilihan kata tetap terjaga tanpa sedikit pun mengganggu makna yang ingin disampaikan. Ketahanan sekaligus disiplin berbahasa semacam ini amat sulit kita temukan di masa kini.

Prof. Al-Attas memang seorang seniman. Selain penulis kaligrafi, beliau juga seorang sastrawan, dan dapat pula disebut sebagai seorang filsuf. Sebagai seorang sastrawan, beliau pernah menulis Rangkaian Rubaiyat, yang terbit di tahun 1959, kurang lebih 15 tahun sebelum beliau mulai menyusun pemikiran yang tertuang di dalam Risalah ini. Rangkaian Rubaiyat merupakan penyaduran pertama Rubaiyat Omar Kayam dalam bahasa Melayu dan merupakan karya penting dan unik karena beliau menyampaikan saduran ini dalam bentuk rubaiyat pula. Sesuatu yang sebelumnya tidak begitu dikenal dalam tradisi Melayu.

Selepas syair itu, Prof. Al-Attas menyatakan kesyukuran atas pengetahuan dan kebenaran yang dicurahkan Allah Swt. Tak lupa pula diikuti shalawat kepada Nabi dalam bentuk syair dan kemudian doa untuk keluarga dan para sahabat Nabi. Ini ialah suatu cara memulai pembahasaan yang amat tertib dalam tradisi Islām. Setinggi apa pun ilmu yang kita dapat, kita tetap mendudukan Allah Swt di tempat kemahaan-Nya.

Selepas itu semua, barulah Prof. Al-Attas membuka pembahasan dengan tutur yang ramah di halaman empat. Perenggan satu dari Risalah dimulai dengan sapaan penuh empati dan kasih sayang: Wahai saudaraku!

Tentu saja yang dimaksud saudara oleh Prof. al-Attas ialah kaum Muslimin. Apabila kita renungkan hal semacam ini, maka kita akan dapati suatu ikatan yang terhubung erat secara ruhani dengan kehambaan kepada Allah Swt. Risalah dapat kita tafsirkan sebagai bentuk kasih Prof. al-Attas kepada sesama kaum Muslimin. Kasih yang berlandaskan iman dan kesadaran untuk membangkitan kaum Muslimin.

Pada tahun-tahun dituliskannya Risalah, Prof. al-Attas kerap mendapati berbagai pertanyaan mendasar yang disampaikan kaum Muslimin. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut ialah: 

1. Bagaimanakah peranan Islām sekarang ini, di dunia yang sedang giat berubah corak dan nilai, yang sedang pesat mengalami perubahan-perubahan meluas dan mendalam akibat perkembangan ilmu pengetahuan sains dan teknologi ?

2. Apakah ma’na Islām bagi Kaum Muslimin dewasa ini: adakah Islām itu sesuai untuk zaman aneka-rupa yang sedang kita tempuh ini?

3. Tiadakah patut Islām pun harus mengalami perubahan seperti yang dialami oleh agama-agama lain di dunia ?

4. Tiadakah patut pula kita, dalam berusaha menafsir semula Islām demi memperoleh pandang kehidupan kita dewasa ini, kembali sahaja terus kepada al-Qur’ān dan Sunnah tanpa merujuk kepada sumber-sumber lain dalam perbendaharaan ilmu-ilmu agama Islām?

5. Tiadakah harus kita kemukakan daripada hasil usaha kita sendiri faham-faham baharu, serta dalam pada itu kita ubah-gantikan petua-petua lama atau penunjuk nakali yang telah ditetapkan oleh beberapa Imam agung serta Mujtahidin kita penganut mazhab Ahlu’l-Sunnah wa’l-Jamā‘ah?

6. Mengapakah orang-orang Islām kini dikabuti kejahilan serta menderita kemunduruan duniawi?

7. Apakah sebabnya kita tercicir jauh ke belakang sedangkan bangsa-bangsa lain, khususnya orang-orang Kristen Barat, dapat berjaya menguasai kemajuan dunia dan hidup mewah sentosa?

8. Di manakah letaknya keistimewaan mereka?

9. Adakah kepercayaan kita terhadap qada dan qadar mempengaruhi daya kita berbuat dan bertindak, sehingga tiada sesuatu yang kita buat melainkan berdiam sahaja, kononnya membiarkan Allāh Subḥānahu wa Ta‘ālā melancarkan TakdirNya?

10. Sebab apakah Umat Islām mundur dalam bidang ekonominya?

11. Adakah pendapat-pendapat serta hujah-hujah ilmu pengetahuan sains itu menggugat dasar-dasar kepercayaan Islām?

12. Apakah peranan kita Muslimin, khususnya belia kita, di masa hadapan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya membayangkan merebaknya kekeliruan akal serta kesesatan kalbu.  Pertanyaan di atas kerap hadir di penghujung abad ke-19, sepanjang abad ke-20 dan kini di abad ke-21. Penghujung abad ke-19 dapat dikatakan sebagai salah satu masa kelam peradaban kaum Muslimin. Hampir merata negeri-negeri kaum Muslimin berada dalam cengkeraman penjajahan. Pun di Indonesia ini yang pada masa itu dijajah oleh bangsa Belanda, bangsa Barat-Kristen. Memasuki paruh pertama abad ke-20, cengkraman kolonial itu semakin terasa. Akan tetapi kesadaran dunia Islām untuk menimbang nasibnya kemudian muncul. Renungan mulai merebak di kalangan kaum Muslimin. Mengapa kita ada dalam penjajahan ini?

Sebagian pihak menyalahkan kepercayaan yang berlebihan terhadap takdir sebagai penyebabnya. Kepercayaan ini membuat kaum Muslimin menjadi pasrah, menganggap penjajahan ialah qada dan qadar Allah yang harus diterima. Sebagian lagi menyalahkan umat Islām yang terjebak pada perilaku tarekat yang penuh bid'ah. Mereka menuduh tasawuf telah membuat umat menjauh dari kenyataan karena telah membius umat pada khalwat dan uzlah sehingga melupakan urusan dunia. Kelompok ini kemudian menyerukan pembersihan Islām dari unsur-unsur khurafat dan bid'ah, sembari mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan sunnah. Seruan-seruan untuk tak bertaklid pada ulama dan berani berijtihad menyeruak di mana-mana. Mereka menginginkan pembaharuan Islām seolah Islām telah menjadi kuno, tertinggal, dan musti diperbaharui lagi.

Pihak yang lain melangkah lebih jauh. Bukan hanya perilaku kaum Muslimin dalam tradisi tarekat dan keseharian yang mereka kritik, melainkan mereka meminta agar ajaran Islām itu sendiri diubah, disesuaikan dengan semangat zaman. Islām perlahan ditelaah dan dirasakan dengan cara yang berbeda dari abad-abad sebelumnya. Beberapa kelompok kaum Muslimin kemudian memperlakukan Islām sebagaimana orang Barat bersikap terhadap agamanya. 

Beberapa kecenderungan orang-orang Islām di atas berawal dari penglihatannya pada kenyataan keterpurukan kaum muslimin sendiri. Dalam gelombang penjajahan Barat, gagasan mengenai modernisme dan pembaharuan hadir di tengah-tengah kaum Muslimin. Umat amat giatnya untuk menganjurkan Islām yang tak ketinggalan zaman, dapat difahami oleh aturan-aturan berfikir formal (rasional yang sesungguhnya khas Barat) dan mampu bersesuaian dengan penemuan-penemuan sains dan teknologi.

Sebagian kaum muslimin seolah terpukau dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang diperolah orang-orang kolonial. Perkembangan dalam ilmu fisika yang telah melahirkan berbagai mesin atau penemuan-penemuan baru di bidang kedokteran telah menyiaukan sebagian dari kita. Barat dipandang sebagai peradaban maju yang menguasai ilmu dan teknologi serta menguasai negeri-negeri Muslimin. Sementara Islām dipandang redup dan mundur karena amat jauh dari perkembangan ilmu dan kehilangan daya kuasa di medan politik.

Beberapa di antara kaum muslimin kemudian mengkritik tradisinya secara tidak tepat sembari mencoba mengejar ketertinggalan dari Barat. Ilmu-ilmu yang dikembangkan dan dibawa peradaban Barat (seperti fisika, biologi, geografi, bahasa, filsafat, sosiologi, psikologi, politik dan lain sebagainya) dipandang sebagai sesuatu yang juga harus dikuasai kaum muslimin, selain “ilmu-ilmu agama”. Maka masyhur dikenal pembagian “ilmu-ilmu umum (ilmu yang diangkut kolonial)” dan “ilmu-ilmu agama”. Pemisahan yang mulai terjadi dan sepertinya tidak disadari ini meniscayakan sebuah pandangan bahwa ilmu itu tawar (netral) tidak menyebelahi pihak mana pun. 

Oleh karenanya sebagian kaum Muslimin menggemarkan pencarian ilmu-ilmu Barat tersebut dan bahkan mengubah tata pendidikan, pengelolaan masyarakat, keorganisasian , hukum  dan lain-lainnya mengikut cara-cara Barat. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memodernkan Islām dan memampukan kaum Muslimin untuk mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat.

Tanpa disadari, di balik semua itu, sesungguhnya terkandung penyakit yang amat dalam namun jarang disadari kaum Muslimin: sekularisme. Sekularisme yang dimaksud Prof. al-Attas bukan hanya beredar pada persoalan pemisahan agama dengan negara (politik), atau antara pendidikan umum dan pendidikan Islām. Lebih jauh dari itu, Prof. al-Attas melihat persoalan sekularisme berada pada titik yang lebih dalam, yaitu persoalan kekeliruan di tingkat gagasan metafisika. 

Di perenggan kedua halaman lima, Prof. Al-Attas menyampaikan hajatnya untuk menyampaikan sebuah risalah kepada kaum Muslimin. Sekiranya diizinkan oleh Allāh Subḥānahu wa Ta‘ālā beliau berhajat untuk memberi petunjuk dan insyā’ Allāh membantu kaum Muslimin ke jalan yang benar. Beliau menyebutkan bahwa persoalan utama kaum Muslimin adalah akibat kejatuhan muruah diri sendiri dan kekurangan ilmu, yang akhirnya berujung pada kekurangan iman. Pandangan Prof. Al-Attas ini sejalan dengan pendapat Ḥujjatu’l-Islām al-Imām al-Ghazālī, bahwa kekurangan iman memanglah disebabkan oleh kekurangan ilmu.

Risalah untuk Kaum Muslimin mengajak kita untuk merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang merebak di dunia Muslim dewasa ini dan di abad lalu. Kemanakah kita akan melangkah dan sudah sejauh apakah kita meninggalkan jalan kita sendiri? Betapakah terputusnya kita dengan masa lalu?

Pada perenggan-perenggan selanjutnya, Prof. Al-Attas akan mengajak kita untuk menelaah hal tersebut dengan lebih dalam lagi.Â