Raja Ali Haji: Bukan Sekadar Bapak Bahasa Indonesia
Bagikan

Raja Ali Haji: Bukan Sekadar Bapak Bahasa Indonesia

Di negara kita, nama Raja Ali Haji tampaknya dikenal baru sebatas karir kesusasteraan dan kebahasaannya saja. Beliau dikenal sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 2014 silam. Padahal, kiprah Raja Ali Haji tidaklah sebatas itu. Beliau adalah seorang ulama multi-disiplin yang juga membahas mengenai ketatanegaraan dan sejarah.

Barangsiapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama


Barangsiapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat


Barangsiapa mengenal Allah
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah


Barangsiapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari


Barangsiapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terperdaya


Barangsiapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudharat

Itulah fasal pertama Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang telah akrab di telinga kita. Gurindam Dua Belas memang telah sering kita dengan dan pelajari di bangku sekolah. Sayangnya, hanya sebatas judul karyanya, tapi tidak dengan isinya. Ia lebih sering dilihat sebatas sebuah karya sastra yang di dalamnya mengandung cikal bakal Bahasa Indonesia modern. Padahal, Raja Ali Haji menuliskan karya ini untuk mendidik masyarakatnya ke arah kebaikan melalui penyampaian sifat-sifat yang baik dan patut dilakukan dan pelarangan melakukan sifat-sifat yang buruk dan tercela. Larangan dan perintah itu dilakukan terhadap tujuh anggota tubuh yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, dua kaki, dan dua tangan karena setiap anggota mempunyai fungsinya dan wajar dijaga dari melakukan perkara yang keji.1

Di negara kita, nama Raja Ali Haji tampaknya dikenal baru sebatas karir kesusasteraan dan kebahasaannya saja. Beliau dikenal sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 2014 silam. Padahal, kiprah Raja Ali Haji tidaklah sebatas itu. Beliau adalah seorang ulama multi-disiplin yang juga membahas mengenai ketatanegaraan dan sejarah. 

Riwayat Hidup Raja Ali Haji

Raja Ali Haji lahir pada tahun 1808 di Pulau Penyengat, pulau kecil yang kini menjadi bagian dari Provinsi Riau. Di abad ke-19, pulau ini adalah pusat Kesultanan Riau-Lingga dan selama abad itu hingga dua dasawarsa abad 20, pulau ini menjadi tempat yang paling banyak menghasilkan karya dalam perjalanan budaya orang Melayu.2

Nama asli beliau adalah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Chelak. Ayahnya bernama Raja Ahmad dan ibunya bernama Encik Hamidah. Ayahnya adalah seorang tokoh politik dan ilmuwan terkenal yang telah menulis banyak karya.3 Ayahnya juga merupakan saudara kandung Raja Jaafar (1779-1878), Yang Dipertuan Muda (YDM) VI Kesultanan Riau-Lingga. Kakeknya adalah Raja Haji Fisabilillah, YDM IV dari Kesultanan Riau-Lingga dan adik kandung Raja Lumu, Sultan Selangor yang pertama. Kakeknya berjasa menjadikan Riau sebagai tempat terkenal sehingga dibanjiri oleh ulama dan pedagang. Ia juga memakmurkan serta memperkuat pertahanan dan angkatan bersenjata Riau. Sayangnya, ia meninggal dunia di Teluk Ketapang ketika melawan Belanda di Malaka pada tahun 1784. Jika melihat silsilah beliau, dapat terlihat bahwa beliau lahir dari kalangan keluarga istana dan baik dari sisi ayah maupun ibunya memiliki keturunan bangsawan Melayu dan Bugis.

Raja Ali Haji dibesarkan ditengah pusat Kesultanan Joho-Riau-Lingga yang ketika itu menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Akses ini membuatnya mendapatkan pendidikan yang terbaik di Pulau Penyengat. Pulau Penyengat, yang dibuka pada tahun 1804 adalah mas kawin dari Sultan Mahmud Shah III kepada Engku Puteri Raja Hamidah. Pulau ini ramai dikunjungi oleh banyak ulama yang mengajarkan ilmu agama kepada pemerintah, bangsawan, ataupun masyarakat setempat.

Pendidikan awal Raja Ali Haji berasal dari ayahnya, tampat ia menerima ilmu agama. setelah selesai, beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1828, di usia 19 tahun, di bawah bimbingan langsung ayahnya. Mereka juga bermukim selama setahun di Tanah Suci, untuk menuntut ilmu lebih dalam, khususnya Bahasa Arab, yaitu dalam hal menguasai dan memahami kitab berbahasa Arab. Di sana beliau bertemu dengan ulama-ulama besar Melayu yang sedang berada di Mekah, antara lain Syekh Daud al-Fattoni dan Syekh Syihabuddin al-Banjari. Dari kedua ulama inilah beliau menelaah berbagai kitab karya para ulama Melayu.

Dari segi fiqih, seperti umumnya masyarakat Melayu, Raja Ali Haji memegang fiqih Mazhab Syafi'i. Dari aqidah, beliau berpegang pada Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan mengasaskan pemikirannya pada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Beliau juga mengamalkan sufi, yaitu melalui tarikat Naqshabandiyah al-Khalidiyah yang diterimanya dari Syeikh Ismail Minangkabawi.4 

Sebenarnya tidak ada banyak catatan mengenai diri dan pribadi Raja Ali Haji, selain yang bersumber pada salah satu karya beliau yang berjudul Tuhfat al-Nafis dan surat-surat beliau kepada kawan Belandanya yang bernama Von de Wall. Berdasarkan karya beliau di atas, diperkirakan beliau lahir pada tahun 1808/1809. Sedangkan waktu kematian beliau juga tidak tercatat dalam catatan manapun. Namun, dari surat terakhirnya kepada Von de Wall diperkirakan beliau meninggal sekitar tahun 1873.

Semasa hidupnya, Raja Ali Haji telah menjadi guru, ulama, dan penasihat para raja. Beliau menjadi penasihat kepada tiga orang Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau, yaitu YDM Raja Ali (1845-1857) yang masih sepupunya, YDM Raja Abdullah (1857-1858) yang juga masih sepupunya, dan YDM Raja Muhammad Yusuf (1857-1899) putra YDM Raja Ali. Di masa pemerintahan YDM Raja Ali, beliau ditugaskan untuk membawa masuk alim ulama ke Riau, seperti Syed Abdullah Bahrain, untuk mengajarkan ilmu agama dan al-Qur'an baik kepada raja maupun para pegawai kerajaan di Pulau Penyengat.

Raja Ali Haji mengajarkan fiqih, ushuluddin, nahwu, sharaf, dan bahasa Melayu kepada anak-anak dan saudara-saudaranya yang berasal dari kalangan kerajaan. Selain itu, beliau juga turut mengajarkan para pegawai negeri yang berada di Pulau Penyengat. Semasa menjadi penasihat YDM Raja Abdullah, beliau juga dilantik untuk memegang segala urusan yang berkaitan dengan hukum di Kerajaan Riau-Lingga, yang membuat nama beliau sangat dihormati tidak hanya oleh masyarakatnya tetapi juga oleh Belanda.

Karya-karya Raja Ali Haji

Selama hidupnya, Raja Ali Haji menghasilkan banyak sekali karya. Karya-karya yang beliau hasilkan melingkupi berbagai disiplin ilmu mulai dari agama, sejarah, bahasa, sastra, hingga ketatanegaraan. Jika membandingkan karya-karya beliau dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya di dunia Islam, baik yang di Melayu ataupun di Timur Tengah, dapat terlihat bahwa beliau menggunakan karya-karya besar dari para ulama sebelumnya sebagai acuan dan panduan. Ulama-ulama yang menjadi panduan bagi penulisan karya beliau antara lain al-Jawhari, Nuruddin al-Raniri, dan juga Imam al-Ghazali. 

Karya-karya Raja Ali Haji juga sangat kental dengan nilai sufi. Ini adalah hal yang wajar karena pengislaman rantau Melayu sangat erat kaitannya dengan peranan kaum sufi. Ketika itu, hasil karya dalam bidang tasawuf di alam Melayu sama pesatnya dengan perkembangan ilmu-ilmu Islam yang lain, seperti ilmu aqidah dan ilmu fiqih.5  Aspek kesufian beliau lahir dari pendidikan yang beliau terima, kegemaran membaca, ziarah dan penunaian ibadah haji di Mekah, gemar berada di dekat ulama, dan juga kegemaran menulis di kalangan keluarga. Pendekatan utama nilai kesufian yang beliau ajarkan dilakukan melalui pendekatan hikmah kebijaksaan dan nasihat pengajaran yang baik, sesuai dengan apa yang terkandung dalam Q.S. al-Nahl ayat 125.

Karya-karya yang beliau hasilkan antara lain sebagai berikut:

1. Thamarat al-Muhimmah Ḍiyāfah li al-Umarā’ wa al-Kubarā’ li Ahl al-Maḥkamah (Buah-buahan yang Dicita-cita jadi Jamuan bagi Raja-raja dan Orang Besar-besar yang Mempunyai Pekerjaan di dalam Tempat Berhukum). 

Thamarat al-Muhimmah selesai ditulis pada 1275 H (1857 M), tapi baru diterbitkan pada 1304 H (1886 M) di Lingga. Karya ini memiliki 79 halaman dan ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Jawi. Di dalamnya terdapat tiga bagian dan 17 fasal, yang sebagian dipecah ke dalam furū (cabang) dan setia (artikel perjanjian). Karya ini menunjukkan keluasan ilmu beliau di bidang ketatanegaraan dan mengandung pemikiran-pemikiran penting mengenai segala hal yang berkaitan dengan negara dan pemerintahan. Karya ini mengacu pada karya ulama sebelumnya, seperi Tāj al-Ṣalāṭīn oleh al-Jawhari dan Bustān al-Salaṭīn oleh al-Raniri. Meskipun bersandar pada karya-karya sebelumnya, tapi karya ini merupakan karya asli pertama dan terakhir sejauh ini, yang ditulis oleh ilmuwan Melayu. Menurut Khalif Muammar A. Harris, kebesaran karya ini karena bersandar pada karya-karya besar sebelumnya, selain juga karena kepiawaian Raja Ali Haji dalam menggarap unsur-unsur baru dan terkini sesuai dengan semangat zamannya, serta mencantumkan bait-bait syair untuk merumuskan mutiara-mutiara hikmah yang beliau jelaskan dalam bukunya. 6

2. Tuhfat al-Nafis (Hadiah yang Bernilai)

Karya ini pertama kali ditulis oleh Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji. Raja Ahmad menuliskan versi pendek, sedangkan putranya menyusun versi panjang dengan merujuk kepada versi pendek yang dikemas dengan bahasa dan gaya yang berbeda, dengan juga menambahkan berbagai fakta sejarah penting ke dalamnya. Karya ini merupakan salah satu sumber historiografi Melayu-Islam yang terpenting. Selain menggambarkan konsep sejarah Raja Ali Haji, karya ini juga mengandung unsur-unsur ketatanegaraan dan didaktik Islam, termasuk di dalamnya konsep mengenai raja yang adil dan negara yang makmur.

3. Kitab Pengetahuan Bahasa

Karya ini merupakan kamus ensiklopedis monolingual Melayu pertama yang disusun pada 1858. Kitab ini berbahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Jawi. Kitab ini dicetak di Mathba’at al-Ahmadiyah atau al-Ahmadiyah Press Singapura tahun 1929 dengan huruf Jawi, sejumlah Sembilan jilid dan berakhir di halaman 446. Di dalam karya ini juga terdapat paparan ringkas mengenai tata bahasa Melayu dan uraian makna kata yang dipadankan dengan sudut pandang tasawuf.

4. Bustanul Katibin

Karya beliau yang lainnya di bidang bahasa. Karya yang berjudul lengkap Bustan al-Katibin lis Subyan al-Muta’allimin (Kitab Perkebunan Jurutulis bagi Kanak-kanak yang Hendak Menuntut akan Belajar) ini berjumlah 70 halaman yang terdiri dari pendahuluan, 31 fasal, dan penutup. Kitab ini terbagi menjadi dua bagian, yang pertama berisi penulisan tata bahasa Melayu dan yang kedua adalah penguraian mengenai tata bahasa Arab. Secara umum, buku ini berisi tata cara penulisan huruf Arab ke dalam bahasa Melayu dengan beberapa penyesuaian istilah berbahasa Arab. 7

5. Gurindam Dua Belas

Boleh jadi ini adalah satu-satunya karya Raja Ali Haji yang dikenal luas oleh masyarakat awam di Indonesia. Di sini, beliau menuliskan dua belas fasal gurindam yang merupakan panduan bagi masyarakat untuk dapat berakhlak baik. Istilah berbahasa Arab khususnya dari segi tasawuf banyak ditemukan di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa di masa itu, istilah-istilah ini telah akrab dan menjadi pengetahuan umum masyarakat Melayu ketika itu, sehingga tidak dijelaskan dengan lebih jauh. Di dalam karyanya ini, beliau juga menuliskan perbedaan antara gurindam dengan syair, yang membuat karya ini menjadi petunjuk penting dalam hal puisi untuk kita di masa sekarang. 

Selain lima karya di atas, Raja Ali Haji juga menulis karya-karya lain seperti Silsilah Melayu dan Bugis, yang menjadi karya penting lainnya dari segi historiografi Melayu selain Tuhfat al-Nafis. Beliau juga menulis berbagai karya puisi selain Gurindam Dua Belas, seperti Ikat-ikatan Dua Belas Puji, Syair Abdul Muluk, Syair Hukum Faraid, Syair Suluh Pegawai, dan Syair Siti Sianah.

Pemikiran Raja Ali Haji

Meskipun hadir lebih dari seabad yang lalu, kita dapat menelusuri pemikiran-pemikiran Raja Ali Haji dan menemukan hal-hal yang masih relevan hingga saat ini. Pemikiran beliau adalah salah satu warisan sejarah yang tak ternilai harganya bagi umat Islam di ranah Melayu ini. Dalam bidang ketatanegaraan, pemikiran beliau masih dapat kita terapkan meskipun saat ini kita tak lagi menganut sistem kerajaan dan telah beralih ke demokrasi. Itu karena karya beliau berisi tidak hanya hal-hal praktis tapi juga teoritis sehingga pemikiran beliau dapat melintasi berbagai zaman. 

Dalam perumusan pemikiran-pemikirannya, Raja Ali Haji berpegang kepada wahyu dan juga hukum syariah. Selain itu, beliau juga menggunakan hukum akal dan pengalaman manusia. Apa yang beliau lakukan sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi mengikuti tradisi keilmuan Islam yang telah dipraktikkan oleh ulama-ulama kita sejak ribuan tahun lalu dan berpangkal pada apa yang Rasulullah sampaikan dan para sahabat praktikkan. Inilah yang menyebabkan Islam dapat terus menjawab tantangan zaman, karena kita tidak serta merta menolak segala hal yang berasal dari peradaban di luar Islam. Begitupun dengan Raja Ali Haji, beliau menerima hal-hal yang berasal dari luar peradaban Islam selama itu baik dan tidak bertentangan dengan hukum syariat karena yang perlu diperhatikan bukan hanya memenuhi kemaslahatan agama tetapi juga kemaslahatan duniawi. 8

Salah satu pemikiran penting beliau adalah di dalam bidang ketatanegaraan dapat kita lihat dalam Thamarat al-Muhimmah dan Tuhfat al-Nafis. Pemikiran beliau dalam bidang ini menurut Khalif Muammar A. Harris melingkupi hubungan antara negara dan agama, struktur pemerintahan, pemimpin yang baik, konsep keadilan, kedaulatan syariah, dan pentingnya musyawarah. Dalam hal hubungan antara negara dan agama, Raja Ali Haji menekankan bahwa penguasaan atas ilmu agama adalah syarat terpenting bagi dilantiknya raja atau pemimpin tertinggi di suatu negara. Berbeda dengan di Barat, di dalam Islam tidak ada pemisahan di antara agama dan politik, sehingga seorang pemimpin semestinya memiliki pemahaman mengenai kedudukan agama dengan politik yang telah berpadu di dalam harmoni. Syarat penguasaan ilmu agama bukan hanya berlaku bagi raja atau pemimpin tertinggi saja tetapi juga diterapkan kepada pegawai-pegawai kerajaan lainnya seperti menteri (waizuri) dan gubernur atau walikota (umarak). Mereka harus orang-orang yang berilmu meski bukan seorang ulama. Beliau juga menetapkan syarat yang begitu ketat untuk para hakim dan kadi. Mereka harus menguasai pandangan-pandangan ulama terdahulu maupun kemudian dan menguasai berbagai macam ilmu agar tidak salah dalam menetapkan hukum. Secara lebih khusus, untuk menjadi kadi, beliau mensyaratkan harus mengetahui segala hukum kitab, sunnah hadits, ijma’ semua ulama, mengetahui ikhtilaf dan ijtihad di kalangan ulama, memahami nahwu dan sharaf bahasa Arab, dan lain sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa dalam pemilihan pejabat pemerintahan, baik tingkat terendah hingga tertinggi, hendaknya berdasarkan akhlak dan bukan sekadar berdarkan kemahiran dan kompetensi belaka. Syarat-syarat yang beliau ajukan adalah Islam, mukalaf, lelaki, merdeka, mempunyai ijtihad dan tadbir yang baik, amanah dan jujur, memiliki maruah, beradab dan bersopan santun, berilmu dengan ilmu yang diperlukan, beramal yang amal yang baik, dan tidak suka beramal dengan amal yang keji. Beliau juga menegaskan haramnya pegawai kerajaan menerima pemberian yang dianggap sebagai korupsi. 

Dari segi pemimpin yang baik, beliau menerangkan pentingnya peran tasawuf dalam membimbing dan menyelamatkan seseorang dari pemimpin yang jahat dan zalim. Beliau mengamalkan ilmu tasawuf dari karya-karya Imam al-Ghazali yang menerangkan bagaimana jiwa manusia memiliki hubungan yang erat dengan perilaku zahir. Menurutnya, seseorang tidak akan bisa menjadi pemimpin yang baik jika tidak mengetahui penyakit-penyakit hati dan sifat-sifat tercela yang mesti dihindari. Dalam Thamarat al-Muhimmah ia menyampaikan, “Tatkala kita berkehendak memeliharakan nama sampai mendapat nama yang baik tiada dapat tiada hendaklah kita ketahui tertib segala kejahatan hati yang membawa kepada anggota yang zahir.” 9

Beberapa sifat tercela yang harus dihindari dan diobati oleh pemimpin antara lain takabbur (takabur, angkuh), ghadab (pemarah), hasad (dengki), tamak, kikir, mughaffal (lalai), israf (berlebih-lebihan), kizb (dusta), al-jaz’ (berkeluh kesah), taswīf (menunda-nunda), tidak menghiraukan perintah agama, dsb. Kemudian diterangkan pula bahaya sifat-sifat tercela di atas baik kepada diri ataupun kepada agama, yang disertai penjelasan secara ringkas bagaimana cara merawat dan pengobati penyakit-penyakit di atas yang merujuk pada kitab-kitab tasawuf.

Dari segi konsep keadilan, bagi Raja Ali Haji kata adil dan zalim memiliki makna yang sangat dalam. Zalim dimaknai sebagai lawan adil dan sebelum menerangkan makna adil, beliau menerangkan terlebih dahulu apa itu zalim. Menurut beliau, dari segi bahasa zalim memiliki makna kelam, yaitu kelam dari membedakan antara yang hak dan yang batil. Sedangkan dari segi istilah, zalim bermakna melakukan sesuatu perbuatan yang menyalahi hukum al-Qur’an, hadits, dan ijma. Sementara itu, adil diartikan sebagai menghukumi atau melakukan sesuatu dengan mufakat kepada al-Qur’an, hadits, dan ijma’ atau melakukan sesuatu yang baik dan pantas dan membawa manfaat kepada orang. Konsep keadilan beliau berpandu kepada agama dan bukan berdasar akal semata. Dalam falsafah politik Islam, keadilan bukanlah tujuan melainkan hasil. Hasil ini baru dapat terlaksana jika telah terpenuhi asas-asasnya yang berdasar pada al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, tujuan politik dalam Islam seperti yang ditegaskan oleh al-Mawardi, bukanlah untuk melaksanakan keadilan tetapi untuk menjaga agama. Dengan menjalankan agama, maka keadilan akan terlaksana. Hal ini juga ditegaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa keadilan adalah cabang sedangkan usuluddin (asas-asas agama) adalah akarnya. 

Ajaran Raja Ali Haji mengenai keadilan dapat ditemui juga di dalam Tuhfat al-Nafis, karya historiografi penting di alam Melayu yang menggambarkan kondisi kerajaan Melayu sebelum abad 20. Karya ini mencerminkan pandangan Raja Ali Haji mengenai sejarah dan falsafah yang berdasarkan tamadun Islam, dengan konsep yang agak berbeda dengan konsep sejarah di Barat pada kurun ke-19 dan 20.10 Sejarah, di dalam Islam, bukan hanya menggambarkan perisitwa-peristiwa nyata yang terjadi pada zaman tertentu, tapi juga manifestasi perancangan Allah SWT. Sejarah juga mengandung unsur-unsur pendidikan berupa nasihat kepada para pembaca, juga bagaimana langkah yang harus ditempuh agar dapat mencapai destinasi terakhir dan mendapat kehidupan yang abadi di sisi Allah SWT. 

Melalui Tuhfat al-Nafis, beliau memasukkan penjelasan mengenai raja yang adil dan negara yang adil dan makmur. Dalam karya ini dirumuskan beberapa ciri-ciri raja adil antara lain rupa yang baik, budi dan adab yang baik, berani, pemurah, sabar, bijaksana, dan sederhana. Raja yang adil juga perlu pandai dalam ilmu usuluddin, fiqih, militer, perniagaan, pemerintahan, dan perundingan. Selain itu, raja yang adil juga memelihara negeri, memelihara rakyat dan semua isi negara, meramaikan perniagaan, bermusyawarah dan bermufakat dengan orang-orang berilmu, dsb. Menurut beliau, raja adil juga wajib menaati Allah SWT, mengikuti sabda Rasulullah SAW, mengukuhkan agama, membela Islam, melaksanakan ibadah, tidak menukar agama dengan dunia, menuntut ilmu, dan mengukuhkan akhlak. 

Raja yang adil akan meniscayakan kemakmuran di suatu negeri. Sedangkan pemimpin yang tidak adil menyebabkan kemunduran. Beberapa ciri kemunduran itu antara lain jumlah orang miskin bertambah, orang miskin kesakitan, isi negara dalam kesusahan, rakyat kelaparan, harga beras dan makanan mahal, perdagangan mati, pertanian merosot, dsb. Menurut Raja Ali Haji, pemimpin bertanggung jawab untuk membangun negara dan melindungi kebajikan dan keselamatan rakyat. Untuk mencapai kemakmuran negara, seorang pemimpin haruslah bersikap adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Jika seorang pemimpin mengikuti hawa nafsu, maka pembalasan akan turun bukan hanya ke atas raja, tapi ke atas rakyat juga. Akhirnya, kerajaan akan mundur dan musnah.

Konsep Raja Ali Haji atas raja yang adil dan zalim di dalam karya ini memberikan gambaran kepada kita untuk dapat memahami konsep keadilan di Masyarakat Melayu pada kurun abad 18 hingga 19. Kita dapat lihat bahwa konsep-konsep yang disampaikan oleh Raja Ali Haji masih relevan hingga saat ini. Kebingungan kita akan konsep negara, pemerintah, keadilan, atau kemakmuran tentu dapat berkurang jika kita lebih tekun menelaah pemikiran-pemikiran Raja Ali Haji dan mengurangi meneriakkan semboyan-semboyan kebangsaan kosong yang bahkan tidak kita pahami maknanya. Pemikiran-pemikiran beliau amatlah penting untuk menata keindonesiaan kita hari ini karena sebagai orang Melayu dengan keilmuan yang begitu luas, beliau lebih paham atas apa yang terjadi di ranah Melayu yang sebagian besar orangnya beragama Islam ini.  

______________________________________________

1   Arba’iyah Mohd. Noor dan Mohd. Hanafi Ibrahim (Editor), “Pendahuluan”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017), hlm. xxiii
2   Hasan Junus, dkk., “Pendahuluan”, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, (Pekanbaru: UNRI Press Pekanbaru, 2004), hlm. 1
3  Arba’iyah Mohd. Noor, “Pemikiran Sejarah Raja Ali Haji Menerusi Tuhfat al-Nafis Karya Ulung Kesultanan Johor-Riau-Lingga”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017), hlm. 81
4  Ahmad Zaki Abdul Latiff dan Fairuzah Basri, “Aspe k Kesufian dalam Karya Raja Ali Haji”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017), hlm. 24
5  Ibid, hlm. 22.
6  Khalif Muammar A. Harris, “Sistem Kehakiman Islam dalam Karya Raja Ali Haji”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017), hlm. 39.
7  “Mengembalikan Kecemerlangan Ulama Suatu Cabaran” hlm. 66. Wazzainab Ismail dan Hafida Mohamed Nordin.
8  Khalif Muammar A. Harris, Op.Cit., hlm. 43.
9  Ibid hlm. 50
10  Tatiana A. Denisova, “Ketatanegaraan Melayu Kurun ke-19”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017), hlm. 170.

Rujukan:
Arba’iyah Mohd. Noor dan Mohd. Hanafi Ibrahim (Editor), “Pendahuluan”, Raja Ali Haji: Pemikir Ulung Alam Melayu Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan kedua 2017).

Wan Mohd. Shaghir Abdullah. Sheikh Syihabuddin Dimuliakan Kerajaan Riau-Lingga . Utusan Online. (http://ww1.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=0115&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive#ixzz5Lqyvwayd, 2017)

Hasan Junus, dkk., Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, (Pekanbaru: UNRI Press Pekanbaru, 2004).