Kerlap-kerlip Listrik dan Lentera Hati Kita
Bagikan

Kerlap-kerlip Listrik dan Lentera Hati Kita

Sungguh, betapa gemerlap lampu dan listrik menjadi tak berarti dibanding lentera penerang hati yang jika padam, tak tahu ke mana harus mencari ganti. Dalam keterbatasan pengindraan, kita justru bisa menyadari hal-hal yang hakiki. Kesunyian malah menghadirkan nikmat yang dapat digunakan mengingat-Nya dan mengevaluasi diri.

Era milenial saat ini ditandai pula dengan pesatnya perkembangan teknologi yang telah menjadi bagian dari kehidupan seluruh pelosok negeri. Meski belum dinikmati secara merata, salah satu perkembangan teknologi yang membawa banyak perubahan adalah listrik. Dengan keberadaan listrik, segala rutinitas menjadi terasa mudah dan ringan. Lampu-lampu templok yang terpasang di bilik-bilik rumah telah diganti dengan lampu yang cukup dinyalakan dengan menekan stop kontak. Air yang digunakan bagi keperluan sehari-hari dahulu ditimba dari sumur-sumur, kini bisa langsung mengalir ke kamar mandi rumah hanya dengan menyambungkan kabel mesin air ke aliran listrik. Betapa hidup kita kini begitu mudah dengan keberadaan listrik yang telah menjamah sebagian besar daerah di Indonesia.

Kemudahan dan keringanan yang diberikan listrik ini membuat kita ketergantungan juga. Ketiadaannya yang hanya sebentar bisa membuat kita kelimpungan bukan main.  Kala sedang memasak nasi dalam rice cooker lalu aliran listrik padam, kita akan mengomel karena kegiatan memasak menjadi lebih lama hingga makan pun tertunda. Saat sedang begitu antusiasnya menonton siaran langsung Opening Asian Games, misalnya, tiba-tiba listrik padam, biasanya kita akan secara spontan marah atau protes tidak terima. Bahkan, tak jarang kita akan memaki dan mengeluarkan segala sumpah serapah, kalau perlu sekalian  menghubungi dan menujukkannya ke pihak penyedia jasa yang bertanggung jawab pada ketersediaan sambungan listrik.

Memang sudah banyak daerah di Indonesia yang dialiri listrik, tetapi pemadaman listrik bergilir pun masih sering terjadi di beberapa daerah hingga kini. Pemadaman listrik bergilir ini membuat kita merasa sangat terganggu, padahal hanya terjadi beberapa saat saja. Ada yang terganggu pekerjaannya karena laptop atau telepon genggamnya mati kehabisan baterai. Ada yang kurang nyaman tidur dalam kegelapan tanpa cahaya lampu. Bahkan, ada pula yang nyaman saja tidur dengan lampu dipadamkan tapi tidak sanggup tanpa embusan sejuk dari kipas atau AC. Mungkin beberapa dari kita juga merasakan hal serupa. Iya, kan? Hidup kita lebih mudah dan nyaman dengan keberadaan listrik, tetapi tanpa disadari, perlahan-lahan kita jadi sangat ketergantungan dan lemah tanpanya.

Betapa ketiadaan cahaya matahari waktu malam membuat kita takut dan tak tahan pada kegelapan. Jika gelapnya alam tiba, kita pasti mencari cahaya sebagai penerang. Indra penglihatan kita begitu dimanjakan oleh keberadaan cahaya buatan manusia ini hingga temaramnya cahaya rembulan di malam hari terkalahkan oleh kerlap-kerlip lampu di sudut-sudut jalan kota, lampu-lampu hias berbagai warna di mal atau di taman. Ada keindahan cahaya sejati yang boleh jadi kita abaikan atau tinggalkan sebab tertutup gemerlap indahnya cahaya buatan. 

Dahulu kala, sebelum listrik semarak tersambung di rumah demi rumah dan gedung demi gedung, hidup kakek-nenek dan para buyut kita berjalan dengan baik-baik saja. Orang tua kita dulu tetap bisa melakukan berbagai rutinitas dalam remang cahaya malam atau belajar dan menulis walau bermodalkan lampu templok dan lilin-lilin yang sinarnya tak seberapa. Bahkan, di masa lampau, terang bulan adalah masa bermain yang paling mengasyikkan.

Pernahkah kita terpikir untuk mencoba atau (setidaknya membayangkan) sehari atau mungkin semalam saja menjalani kehidupan kita tanpa listrik? Tentu bukan karena dipaksa keadaan, tetapi sengaja mencoba melepaskan diri dari ketakutan hidup tanpa listrik dan lampu. Dahulu, sekitar era ’90-an awal, rasanya, pemadaman listrik di daerah Jakarta masih cukup sering terjadi dibandingkan sekarang. Tanpa listrik selepas maghrib, biasanya, kita akan menyalakan lilin di sisi-sisi rumah yang strategis. Berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga jadi terasa lebih hangat walau dikelilingi gelap. Bisa juga bermain bayang-bayang di atas temaram lilin lalu tertawa bersama. Tidak ada yang sibuk dengan gawai atau di kamar masing-masing. Tidak juga terpaku menonton acara-acara unggulan seru di televisi.

Disadari atau tidak, menjelang malam, listrik mencuri kebersamaan kita dengan keluarga. Tayangan televisi yang makin beragam amat melenakan diri bahkan memicu pertengkaran karena berebut remote control televisi. Kalau kalah, mungkin kita bergeser menonton tayangan kegemaran secara streaming atau mendengarkan musik sebagai hiburan hingga tengah malam sampai tertidur. Malam demi malam kebiasaan ini terus berlangsung. Pada malam hari, aliran listrik tak hanya mencuri waktu kita bersama keluarga, tetapi di waktu yang semestinya tenang dan hening kita juga lupa bercengkerama dengan Allah Sang Pencipta.

Ada penuturan salah seorang guru mengenai para aulia dan ulama dahulu menjadikan malam sebagai waktu untuk bergantung pada pemilik seterang-terang cahaya, Allah azza wa jalla. Terlepas dari keterbatasan teknologi dan sumber aliran listrik pada zaman itu, mereka beristiqamah menjadikan malam sebagai waktu bergantung pada-Nya, menginsyafi diri mengingat bahwa manusia hanyalah makhluk dengan segala keterbatasannya. Gelap membuat mereka lebih mawas diri bahwa cahaya adalah karunia-Nya dan sudah semestinya manusia bergantung pada kekuasaan yang sifatnya tidak terbatas yang hanya dimiliki oleh-Nya.

Dari sebuah syair dalam kitab Ta’lim Muta’llim karangan Syekh Zarnuji, beliau mengisyaratkan pembagian waktu malam yang bermanfaat, yakni sepertiga awalnya digunakan untuk tidur, sepertiganya untuk belajar dan tafakur, lalu sepertiga akhirnya untuk beribadah pada Allah subhanahu wata’ala. Demikian pula yang diterapkan ulama semisal Imam Syafi’i yang menjadikan malam sedikit tidur dan banyak untuk belajar, bertafakur, dan beribadah. Bahkan, para ulama ahli hikmah menjadikan waktu antara Maghrib dan Isya sebagai waktu yang tepat banyak munajat dengan mengagungkan nama-Nya dan bershalawat pada Nabi muhammad SAW untuk keterjaminan cahaya dalam hati dan jiwa kita selamanya.

Berbanding terbalik dengan yang kita temukan dan alami sehari-hari, terangnya lampu dari aliran listrik membuat waktu Maghrib dan malam kita terlalaikan. Selepas rutinitas seharian, kita mencari kesenangan sambil beristirahat di depan televisi, di sudut-sudut kafe hits, ingar bingar suara radio, atau saluran streaming di kemacetan perjalanan pulang. Kita tak lagi menggunakan malam untuk memakmurkan surau-surau dengan kajian-kajian ilmu atau membasahi lisan dengan zikir tadarus dan shalawat. Kita malah senang dan sibuk berada dalam hal-hal yang justru tanpa kita sadari memadamkan lentera dalam hati kita.

Dalam gelapnya malam, kita sibuk mencari cahaya, menyalakan lampu beraliran listrik, namun sering kali lupa mencari cara melanggengkan lentera cahaya batin agar berpendar terang mengisi relung-relung jiwa. Ada yang luput dari pemahaman kita kala memaknai gelap. Kegelapan tidak selalu berarti negatif apalagi menakutkan.

Sungguh, betapa gemerlap lampu dan listrik menjadi tak berarti dibanding lentera penerang hati yang jika padam, tak tahu ke mana harus mencari ganti. Dalam keterbatasan pengindraan, kita justru bisa menyadari hal-hal yang hakiki. Kesunyian malah  menghadirkan nikmat yang dapat digunakan mengingat-Nya dan mengevaluasi diri.   Barangkali selama ini, kita terperangkap sugesti mengenai gelap yang menakutkan. Kita juga teryakinkan sepenuhnya jika cahaya indrawi teramat megah dan penting andilnya dalam hidup kita.     

Dalam sehari, waktu yang diberikan kepada para aulia dan para ulama sama dengan waktu yang diberikan kepada kita, 24 jam saja. Tetapi, sudah sebaik apa kita menjadikan waktu 24 jam ini untuk tidak menggantungkan diri pada sesuatu yang sifatnya sementara dan terbatas pada indra zahir saja, lalu kembali pada cahaya yang abadi zahir dan batin menerangi kita tanpa batas? Barangkali inilah salah satu alasan yang membuat para ulama dan para aulia bahkan orang-orang dahulu lebih banyak punya waktu dan khusyuk dalam mengingat-Nya. Allahumma sholli ‘alaa Muhammad Allahumma sholli alaihi wasallim. Wallahu a’lam.