Dalam kehidupanini, kita dapat melihat dan bahkan mengalami berbagai kejadian fakta dan jugaperistiwa. Suatu peristiwa terkadang memberi kesan kesedihan pada sebagianorang namun dapat juga menjadi kegembiraan bagi yang lain. Suka dan duka dalamkehidupan ialah hal lumrah dan memang begitulah manusia hidup.
Pada setahunterakhir ini kita telah menjalani kehidupan yang boleh jadi berbeda dengankeseharian kita sebelumnya. Kita hidup bersama virus corona. Kita hidup bersamawabah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghadapi keadaan ini. Namunbagaimanakah sesungguhnya hal ini bila kita tinjau dari sudut pandangmetafisika Islām?
Pada masaterdahulu, berbagai jenis wabah juga pernah melanda dunia. Termasuk yang jugadialami oleh para ulama kita. Tentu dengan segala keterbatasan para ulama kitapun berikhtiar untuk mengatasi wabah. Baik ulama yang kurang memahamikedokteran seperti Ibn Ḥajar Al-ʿAsqalānī, atau para ulama lain yang lebih memahami masalah kedokteran, merekaberikhtiar untuk mengatasi persoalan wabah yang mereka hadapi.
Sebelum masamodern, para ulama kita memang banyak yang mengerti kedokteran dan bahkan jugamerupakan seorang dokter. Imam al-Ghazālī berbicara tentangkedokteran. Fakhr al-Dīn al-Rāzī menulis paling tidak 6 judul buku tentangkedokteran, di antaranya adalah Sharh Kullīyyat al-Qānīn fī al-Ṭibb yang menerangkan karya Ibn Sīnā dankaidah-kaidah dalam kedokteran.
Tak heran bilaberbagai catatan mengenai ikhtiar para ulama dan umat Islām untuk mengatasiwabah banyak ditemukan. Ulama kita tidak pernah mengingkari penting dankeharusan untuk mengatasi persoalan wabah dengan landasan ilmu kedokteran. Padazamannya, pencapaian kedokteran Islām amat tinggi. Akantetapi hal itu tidak menjadikan para ulama kita memandang wabah sebagaiperistiwa duniawi belaka, kejadian empiris saja. Apa yang terjadi di hadapankita sesungguhnya amat terkait dengan anasir yang lebih universal dan jugaspiritual.
Ketika para ulamakita, di antaranya Ibn Ḥajar Al-ʿAsqalānī dan Imām al-Suyūṭī, membahasmasalah wabah, mereka kerap mengutip berbagai Ḥadīth, di antaranya:
Ṭāʿūn merupakan adzab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin.
Para ulama kitakerap melihat wabah (di antaranya wabah Ṭāʿūn) sebagai sebuahadzab. Boleh jadi secara medis wabah adalah sebuah fakta bebas nilai yang takberhubungan dengan moralitas atau kah lagi keimanan. Pandangan sekuler niscayaakan menolak penghubungan sebuah fakta medis (atau fakta empiris lain) denganhal moral atau metafisik.
Akan tetapi bilakita melihat berbagai kesedihan, berbagai kedukaan dan berbagai peristiwamemilukan yang terhampar di hadapan kita dewasa ini, memang wabah ini menjadi adzabbagi banyak orang. Namun di sisi lain wabah ini juga merupakan rahmat bagisebagian orang. Ḥadīth ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dan banyak pula ḥadīth lain yang senada. Jadi, wabah ini adalahadzab yang memang Allāh kirimkan kepada yangDia kehendaki dan juga merupakan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Penempatan adzabdan rahmat secara sekaligus dalam satu peristiwa tentu merangsang fikiran kitauntuk bertanya. Bagaimana sesuatu yang secara lahir tampak dipenuhi dengankedukaan, kesusahan, penderitaan dan kesedihan dapat disebut sebagai sebuahrahmat?
Dalam beberapa ḥadīth lain diterangkan bahwa orang yang wafatterkena wabah penyakit dapat dikatakan sebagai syahid. Pahala syahid jugaberlaku pada orang-orang yang terkena wabah. Orang ṣaleh yang senantiasamencari riḍa Allāh SWT, dan menjaga dirinya lalu terkena wabah, dalam beberapa ḥadīth mereka juga disebutkan sebagai syahid.Syahid juga berarti mendapat pahala berupa surga, inshā Allāh.
Hal metafisisseperti ini tentu tidak dikenal dalam ilmu kedokteran sekular.
Bagi kita umatIslām, apa yang terjadi memang sudah kehendak Allāh, dan memang ini disebutkan juga di dalam al-Quran berulang kali dalamberbagai versi. Seperti misalnya dalam Q.S. al-Hadīd [57] ayat 22-23:
“Tiada suatubencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkantelah tertulis dalam kitab (illā fī kitābim) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnyayang demikian itu adalah mudah bagi Allāh. Kami jelaskan (yang demikian itu)supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supayakamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allāh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagimembanggakan diri.”
Musibah apa sajadi atas bumi ini, termasuk wabah, semua sudah tertulis sebelum terjadi.Covid-19 ini baru terjadi kira-kira setahun lalu. Dua tahun yang lalu tidak adaseorang pun yang punya rencana. Seandainya dua tahun lalu ada orang yang sudahmengetahui hal ini akan terjadi, mungkin mereka akan segera bersiap untukmengatasinya. Manusia tidak tahu, kita baru mengetahui sesuatu setelah hal ituterjadi. Akan tetapi pada Zat-Nya, pada Allāh, semua itu sudah tertulis. Inna dzālika'alallāhi yasīr (Sesungguhnya yang demikian itu adalahmudah bagi Allāh).
Dilanjutkan:Likaylā ta’sau ‘alā mā fātakum wa lā tafrahū bimā ātākum (Kami jelaskan [yangdemikian itu] supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu karenaini memang sudah diatur dan tertulis, supaya kalian tidak bersedih dan tidakberputus asa). Terkadang saat kita mengalami musibah, kita berputus asa danbersedih. Namun bagi orang-orang yang beriman, ia tak akan terlalu bersedih,sebab ini sudah menjadi takdir-Nya. Sebagaimana bila ada kesenangan jangan lahterlalu bergembira.
Hal yang samadapat kita temukan dalam Q.S. at-Taghābun [64]: 11: mā aṣāba min muṣībatin illābi'idznillāh (musibah itu terjadi hanya karena izin AllĀh).
Oleh karena itu,bagi kita orang-orang beriman, wabah dan Covid-19 yang tengah kita hadapi inidapat terjadi, atau disebabkan oleh unsur-unsur yang dapat dijelaskan secaramedis. Namun bukan hanya itu. Bukan hanya unsur medis, empiris dan materialsaja yang terlibat di dalamnya. Kita tidak mereduksi realitas pada hal tersebutsaja. Kita tidak menafikan kedokteran dan sains karena itu adalah sesuatu yangsangat penting dalam kehidupan kita.
Berdasar pada apayang disampaikan Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī, pada akhirnya, penyebab akhir (theultimate cause) segala sesuatu ialah izin dari Allāh (bī idznillāh).Banyak pula ayat yang menyebutkan Allāh Mahatahu, Allāh Maha Berkuasa, Allāh Maha Berkehendak dansebagainya. Secara ringkas, musibah dalam pandangan metafisika Islām terjadi karena Allāh memang menghendakinya. Tidak ada yang dapat menghalangi jika memang Allāh menghendaki. Kita sering juga kan, membaca do’ā setelah shalat itu:
“Ya AllĀh, tak ada sesuatu yang dapat menghalangikehendak-Mu, dan tak ada pula yang dapat melaksanakan apa-apa yang Engkau takkehendaki.”
Oleh karena bagi seorang Muslim, pandemi ini, wabah ini takcukup dihadapi hanya dengan ikhtiar lahir yang sesuai dengan ilmu kesehatan.Namun kita juga harus meningkatkan kesadaran kita akan kemahakuasaan Allāh.Kita harus memeriksa diri, merunungkan berbagai kelalaian, kesalahan, danhal-hal yang menunjukkan pengabaian kita terhadap Allāh.Sehingga Allāh menurunkan wabah ini. Penerapanprotokol kesehatan tetap harus dijalankan. Kepercayaan terhadap takdir takberarti muslim menjadi abai terhadap protokol kesehatan.
Akan tetapipenerapan protokol kesehatan dan segala ikhtiar lahir saja tidak cukup. Sumber,hakikat, ujung, akar, sebab terjadinya wabah ini tidak lepas dari kuasa Allāh.Oleh karena itu seharusnya musibah dan wabah ini membuat umat semakin sadar dandekat kepada Allāh. Meski kenyataannya,keangkuhan justru semakin merajalela. Tindakan korup dan merusak di tengahwabah ini terus terjadi. Seolah berbagai tanda dan peringatan Allāh diabaikan begitu saja. Seolah manusia berkuasadan mampu untuk menghadapi segalanya.
Apakah secarailmiah hal ini dapat dijelaskan? Bagaimana kaitan antara apa yang terjadi dialam materi dengan yang transenden itu? Dunia modern membatasi bahasan mengenaialam hanya kepada alam materi saja. Padahal dalam bahasa Arab alam itu adalahsegala sesuatu kecuali Allāh. Artinya, alam itu termasuk alam malakut, alamjabarut, alam barzakh, alam akhirat, bukan hanya alam materi. Segala sesuatu,malaikat, jin dan lain sebagainya itu termasuk juga ke dalam kategori alam.
Namun sainssekular, telah menyempitkan makna alam itu hanya kepada alam materinya saja.Segala sesuatu di luar alam materi ini, diingkari keberadaannya. Padahal alammateri ini bagaikan setetes air di samudera (a drop in the ocean). Imamal-Ghazālī sejalan dengan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (juga ulama lain yang berwibawa),berpendapat bahwa sebab-sebab yangterjadi tidak hanya merujuk kepada sebab-sebab alam atau faktor alam saja. Alamtidak dinafikan, tetapi itu bukanlah sebab akhir.
Terkadang dalamberbagai kajian sains para peneliti seolah menemukan faktor utama dariterjadinya sesuatu. Namun dalam perkembangan berikutnya, bertahun-tahun atauberpuluhan tahun kemudian ditemukan faktor lain yang lebih berperan. Saatdisimpulkan faktor penyebab sesuatu itu, rupanya terdapat faktor lain. Padaakhirnya, faktor terakhir yang menjadikan itu tidak lepas dari kuasa Allāh.
Pun dalam masalahpandemi yang kita hadapi sekarang ini. Sebagai orang beriman, kita seharusnyameyakini bahwa musibah ini memang Allāh turunkan. Seharusnya kita betul-betulmerenung, mengambil pelajaran dari apa yang diturunkan ini dan mengapa Allāh menurunkannya.
Dalam kajianmetafisika Islām, terdapat banyak hujjah yang dapat disebutkan untuk mengaitkanfenomena di alam ini dengan Allāh sebagai pelaku. Salah seorang ahli kalam terkemuka dari kalanganAshāʿirah, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, telah menulis pembahasan yang panjangdan rinci tentang kedudukan takdir dalam metafisika Islām. Pandangan tersebut ditulis oleh al-Rāzī dalambab terakhir al-Maʿālib al-Āliyah min al-'Ilm al-Ilāhī (Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabī, 1987). Ada banyak hujjah yangdiketengahkan oleh al-Rāzī baik hujjah rasionalmaupun hujjah al-Qur’ān dan Sunnah.
Dalam kitabtersebut terdapat banyak pembahasan mengenai ayat-ayat seperti “Allāh tidakmengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri”. Bagi al-Rāzī, ayat-ayat seperti itu tak berartisemua tergantung kepada manusia. Seolah-olah kita punya kuasa, tetapisebenarnya hanya Allāh yang Mahakuasa.Sebenarnya hal seperti itu juga terdapat dalam doā:
“Tidak ada dayadan upaya yang kita miliki, itu semua hanya milik Allāh.”
Dalam metafisikaIslām dikenal wajib al-wujūd (wujud yang harus pada Zatnya, yaituAllāh) dan al-mumkin al-wujūd (wujud yang mungkin pada zatnya,yaitu ciptaan-Nya). Sesungguhnya status kewujudan manusia dan alam ini ialahwujud yang mungkin (al-mumkin al-wujūd). Oleh karena itu kewujudanmanusia dan alam ini amat bergantung pada the ultimate cause, the firstcause. Segala sesuatu akan berakhir pada yang lebih dulu dan yangmewujudkan sesuatu itu. Artinya segala sesuatu tidak dapat dilepaskan dan padaakhirnya kembali kepada Allāh.
Kita mengkajimengenai wabah ini pada akhirnya akan terkait juga dengan tatanan pandanganmetafisika kita. Pada akhirnya akan terkait dengan Allāh yang menjadikannya.Kita tidak mengetahui bagaimana ujungnya wabah ini, akan bagaimana nasib kitaesok hari, lusa dan masa-masa yang akan datang. Sementara Allāh mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yangtelah manusia alami, sedang manusia alami dan apa yang akan manusia alami.Semua telah ada dalam pengetahuan Allāh. Tak ada sesuatu yangterlepas dari pengetahuan-Nya.
Kita tidak tahuwabah ini akan berakhir atau kah bagaimana. Oleh karenanya kita perlu semakinmendekatkan diri kepada Allāh. Bila Allāh menghendaki wabah ini akan berakhir,namun bila Allāh tak menghendaki tentu tak akan terjadi. Dalam segala ikhtiarmanusia kita amat bergantung kepada kekuasaan Allāh. Kesulitan kita menghadapiwabah, di mana banyak ahli sains, kesehatan dan ilmuan lain mencobamengatasinya, juga menunjukkan betapa lemahnya manusia. Hal ini jugamenunjukkan betapa kecilnya ilmu pengetahuan kita dibandingkan milik Allāh.Sulit sekali kita mengatasi wabah ini, kalau pun kita bisa mengatasinya, itumasih perlu waktu dan lain sebagainya.
Allāh Mahatahudan kita tidak tahu, Allāh Mahakuasa dan kita tidak berkuasa.
Semoga hal inidapat menjadi renungan yang mendalam bagi kita semua. Semoga kita semua dapatmenggali hikmah dari apa yang terjadi. Upaya serius yang sudah dilakukan secaramedis adalah sesuatu yang sangat penting dilakukan, tetapi bukan hanya itu.
Hal yang jauhlebih penting adalah menyadarkan kepada umat bahwa Allāh Mahakuasa danterkadang kita melupakan kekuasaan-Nya. Allāh Mahatahu dan kita melupakan kalauAllāh itu Mahatahu. Allāh itu Maha Berkehendak dan kita kerap melupakan bahwa Allāhitu Maha Berkehendak. Seharusnya fenomena wabah yang kita alami ini, ataumusibah-musibah yang lain, menjadikan akidah umat menjadi semakin tinggi.
Disadur dariceramah Ustadz Adnin Armas pada acara:
Renungan SetahunPandemi: Soft Launching Terjemahan Kitab Mā Rawāh al-Wāʿūn fī Akhbār al-Ṭāʿūn Karya Imām Jalālal-Dīn al-Suyūṭī.
Sabtu, 23 Rajab1424/6 Maret 2021
Diselenggarakanoleh Jawharuna Institute dan Komunitas NuuN