Akhir-akhir inipartai-partai politik yang menjadikan Islam sebagai asasnya terkesan berjalansendiri-sendiri dan tidak mau peduli antara satu dan lainnya. Umumnya soalperebutan konstituen yang menjadi pasal. Kepentingan politik jangka pendekmasing-masing juga menjadi alasan.
Tahun 1955, masa pemerintahan Kabinet BurhanuddinHarahap, negeri kita menghadapi proses pemilihan politik legal yang pertama:pemilihan umum pertama. Saat itu banyak partai yang berasaskan Islam, baik yangbermassa besar maupun yang kecil. Sebut saja Partai Masyumi (20,59 persensuara) dan Partai Nahdlatul Ulama (18,47 persen suara) sebagai dua partai Islamterbesar dengan banyak konstituen yang hampir merata di wilayah Indonesia,kecuali wilayah timur.
Ada pula partai-partai Islam dengan jumlahdukungan yang kecil seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (2,80 persensuara), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (1,23 persen suara), Partai PolitikTarikat Islam (0,20 persen suara), dan ada beberapa lagi (lihat karyaWidjanarko Puspoyo dengan judul DariSoekarno hingga Yudhoyono: Pemilu Indonesia 1955-2009).
Kalau boleh kita bagi bentuk perjuangan politikmenjadi dua tahap, pragmatis (jangka pendek) dan idealis (jangka panjang),kira-kira begini suasana yang terbangun saat itu. Pada saat kampanye menjelangpemilu, masing-masing partai politik Islam itu berusaha merebut hati parapemilih, umat Islam di Indonesia. Masing-masing partai saling berusaha untukmendapatkannya. Di sini muncul persaingan antarpartai-partai Islam itu (jangkapendek). Akan tetapi, setelah pemilu, kesemua partai itu berpadu ke dalamsebuah jaringan besar, politik umat Islam (jangka panjang).
Menjelang rapat Konstituante pada tahun 1956,tanggal 14 Januari, Abu ‘Ubaidah, seorang anggota redaksi Majalah Hikmah, dalam rubrik Dari Sahabat ke Sahabat menuliskansebagai berikut:
“Saudara! Betapapun suara yang diperoleh Masyumi,NU, PSII, Perti dan kumpulan pemilih Bulan Bintang dalam pemilihan umumKonstituante yang baru lalu ini, hendaknya diterima dengan lillahi ta’ala. Yangdapat tambahan suara (tertimbang suara yang diperolehnya dalam pemilihan DPRdulu) jangan lantas sombong mengatakan partainya lebih unggul atau lebih benar.Dan yang dapat suara kurang dari duluan, tak usah berkecil hati. Kita harusdapat melepaskan pandangan sempit, diganti pandangan luas meliputi seluruhkepentingan umat Islam Indonesia. Kita akan tersenyum dalam hati, bahwa setelahkita kaji benar-benar, sama saja tujuan partai-partai Islam yang berebut suaradalam pemilihan Konstituante itu.â€
Indah benar pernyataan itu. Pernyataan yangternyata diamini oleh kalangan partai-partai Islam saat itu. Hal itu dapatterlihat pada persidangan-persidangan di Dewan Konstituante untuk merumuskandasar negara. Mau Masyumi, mau NU, mau PSII, ataupun yang lain, semua satusuara untuk menjadikan Islam sebagai nilai luhur dan dasar negara dan caramenafsir Pancasila dalam pandangan kaum Muslim.
Ini adalah bentuk kita yang seharusnya. Dari duluhingga sekarang. Banyak baju, satu tubuh, satu jiwa.
***
Sumber foto: Majalah Minggu Pagi, edisi 22 April1956, halaman 29.
Deskripsi foto: Nyonya Sunarjo Mangunpuspitobersama Nyonya Dr Sukiman menuju ke rapat Masjumi di Alun-Alun Utara Yogyamenghadapi kampanye pemilihan umum baru-baru ini.