Benturan antar Worldview: Membaca Kembali Islām and Secularism (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Bagikan

Benturan antar Worldview: Membaca Kembali Islām and Secularism (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Islām dan Secularism merupakan salah satu karya terpenting Tan Sri Profesor Doktor Syed Muhammad Naquib al-Attas. Di buku ini kritik filosofis beliau terhadap pandangan-wujud (worldview) peradaban Barat tertuang dengan runut dan padat.

Islām andSecularism merupakansalah satu karya terpenting Tan Sri Profesor Doktor Syed Muhammad Naquibal-Attas. Di buku ini kritik filosofis beliau terhadap pandangan-wujud (worldview) peradabanBarat tertuang dengan runut dan padat. Selain itu, gagasan penting mengenaiIslām sebagai sebuah tatanan pandangan-wujud dapat pula ditelusuri daribuku ini. Secara tak langsung buku ini mengajak kita untuk melihat benturanpermanen dua sistem metafisika yang telah berusia berabad: Islām danBarat.

 Islām andSecularism, pertama kalihadir pada tahun 1978, diterbitkan oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM).International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), lembagapendidikan luhur yang Prof. al-Attas dirikan, kemudian menerbitkan edisi keduabuku ini pada 1993. 21 tahun berselang, 2014, Islamic Banking & FinanceInstitute Malaysia (IBFIM) menerbitkan edisi ketiga Islām andSecularism. Ta’dib International menerbitkan edisi keempat padatahun 2019. Salah satu keunikan dari buku ini, ialah ukuran dari keempat edisiyang selalu sama: 14 x 21,5 cm.

Di Indonesia,paling tidak buku ini telah diterjemahkan sebanyak 4 kali oleh 3 penerbit danpenerjemah yang berbeda. Terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia (yang dapatkami telusuri) berjudul Islam dan Sekularisme diterbitkan olehPenerbit Pustaka Perpustakaan Salman ITB (Bandung) pada 1401 H/1981 M;diterjemahkan oleh Karsidjo Djojosuwarno dan disunting oleh Armahedi Mahzar.Terjemahan kedua berjudul Dilema Kaum Muslimin denganpenerjemah Anwar Wahdi Hasi, B. A. dan H.M. Mochtar Zoerni B.A.. Terjemahan iniditerbitkan oleh Penerbit Bina Ilmu (Surabaya) pada tahun 1986.

InstitutePemikiran dan Pembangunan Insan (PIMPIN) kemudian menerbitkan terjemahan bukuini dalam dua edisi pada 2010 dan 2011. Bekerjasama dengan Center for AdvancedStudies on Islam and Civilization (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia (UTM),terbitan ini diterjemahkan oleh Dr. Khalif Muammar. Dr. Khalif ialah salah satumurid langsung Prof. al-Attas yang menyelesaikan pendidikan Pasca-sarjana (S2dan S3) di ISTAC semasa dipimpin oleh penulis Islām and Secularism.Penerjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia dibantu oleh Usep MohammadIshaq, M.Si. (Kini Dr.); Wendi Zarman, M.Si. (kini Dr.); Hidayat, M.T.; JohnAdler dan Adi Yahya, M.Si. Terjemahan terbitan PIMPIN ini dapat dikatakansebagai terjemahan terbaik (setidaknya dalam penilaian subjektif kami) denganjudul Islām dan Sekularisme.

Bagian pertamabuku ini berjudul “The Contemporary Western Christian Background”. Prof.al-Attas telah menelaah dengan seksama karya, Jacques Maritain, Paysanne de la Garonne, (1966), yang di dalamnya termuat semacampemrakiraan akan hadirnya trend falsafah baru di dunia Barat yang kemudiandikenal sebagai Postmodernisme. Dengan bekal gambaran Maritain itulah Prof.al-Attas mengupas tuntas pergulatan panjang teologi Kristen dan filsafatHellenik (Yunani), dua unsur penting dalam pandangan-wujud peradaban Barat.

Beliau menguraipersoalan dari mula gagasan teori kebenaran Parmanidean yang menyatakan wujudmaterial ialah sesuatu yang memenuhi ruang, tak bermula dan harus senantiasaada. Para filsuf Yunani berikutnya (termasuk Aristoteles dan Plato) kemudianmembedakan wujud individu yang bersifat mungkin/bergantung (contingent being)dan wujud universal yang harus ada (Necessary Being). Kristenmenghampiri Eropa dengan membawa gagasan Tuhan yang wujud-Nya harus ada,sementara kewujudan makhluk berbanding kewujudan Tuhan bersifat mungkin.Teologi Kristen mulanya bertentangan dengan gagasan Parmanidean dan tafsiranAristoteles atasnya.

Persoalan muncul,karena di era Kristen (Abad Pertengahan) orang Barat tetap menganutepistemologi Parmanidean. Tatkala teologi mereka menolak kemestian wujud padamakhluk, mereka tak dapat menyangkal bahwa sebagai wujud yang intelligible (wujudyang terfahami akal manusia), kewujudan makhluk haruslah ada. Secara teologimereka menerima kewujudan makhluk sebagai sesuatu yang mungkin, sementarasecara epistemologis kewujudan makhluk dalam fikiran malah dipandang sebagaisesuatu yang harus ada.

Pertentanganpandangan dalam hal teologi dan epistemologi ini semakin rumit tatkala merekamenciptakan pula pemisahan antara esensi dan eksistensi pada makhluk. Esensimakhluk adalah kewujudannya di dalam fikiran, oleh karena itu ia harusada (Necessary Being). Sementara eksistensi makhluk di luarfikiran, di dunia material, bersifat mungkin (contingent). Lalubagaimana dengan Tuhan? Pada abad ke-13, penghulu alam Skolastik, ThomasAquinas, memberi pandangan bahwa mengenai Tuhan esensi dan eksistensi-Nya harussama dan kewujudan keduanya harus ada.

Seratus tahunkemudian, abad ke-14, William Ockham menafsirkan pandangan ini dengan terlalusembrono. Menurutnya bila manusia dapat memahami esensi Tuhan tanpa mengetahuieksistensinya, maka tak ada suatu ilmu pun yang dapat memastikan Tuhan itubenar-benar ada atau tidak. Persoalan kewujudan Tuhan menjadi semakin rumit,baik teologi maupun filsafat yang dianut manusia Barat seolah tak mampumenyelesaikannya.

RenéDescartes, pada abad ke-17, menyimpulkan bahwa kepastian eksistensi Tuhanbersifat a priori. Namun hal ini tidak banyak menolong karenadengan demikian kewujudan Tuhan di dalam fikiran tidak dapat ditelusuri asalmuasalnya. Artinya esensi Tuhan sebenarnya tidak dapat diketahui. Dan karenaesensi-Nya sama dengan eksisten-Nya, eksistensi Tuhan pun tidak dapatdiketahui. Akhirnya kesimpulan akhir yang dapat diraih Barat ialah kewujudanTuhan, baik esensi maupun eksistensi-Nya, secara epistemologis tak dapatdiketahui (the unknowability of God, [edisi ISTAC, hlm. 11]). Tuhanhanya bisa diyakini (faith) dalam kerangka teologis. Filsafat danteologi bukan hanya terpisah, tetapi juga kemudian bertentangan. Immanuel Kant,seabad kemudian (abad-18), mematenkan pandangan bahwa Tuhan dan berbagai konsepmetafisika lain mengenai realitas dan kebenaran secara umum tidak dapatdiketahui.

Tumpukankerumitan ini terus mengendap mengantarkan Barat pada pandangan sekular yangpermanen. Kristen telah di Hellenik-kan dalam peradaban Barat. Agama telahditundukan dalam filsafat rasional. Pertentangan tak terselesaikan ini telahmembuka jalan lapang bagi sekularisme dan kemudian sekularisasi di abad ke-19,20 dan hingga kini di zaman kita abad ke-21. Hal ini lah yang dibahas Prol.Al-Attas dalam bagian kedua Islām and Secularism: “Secular-Secularization-Secularism”.

Bagian kedua inidapat dikatakan suatu tinjauan mendalam khas Prof. al-Attas mengenaiperkembangan filsafat Barat masa kini. Ulama kelahiran 5 September 1931 initelah menelaah karya Jacques Maritain seperti disebutkan di atas. Artinyabeliau sebenarnya mengikuti dengan ketat bahkan telah turut serta dalam wacanaperkembangan falsafah kontemporer. Pada tahun 1977-1978, Prof. al-Attas telahmelihat terbukanya alam baru filsafat Barat yang kini dikenal denganPascamodernisme. Memang Prof. al-Attas tidak menggunakan kata Postmodernism secarakhusus, tetapi di dalam bagian I  Islām and Secularism beliaumengutip kata “neo-modernist thought”, istilah yang digunakan olehJacques Maritain, untuk merujuk pada sebuah “ideologi terbuka” (edisi ISTAC,hlm. 1).

Penjelasan lebihterperinci mengenai hal tersebut dapat dilihat pada bagian II sebagai fahamyang terkandung dalam istilah sekularisasi; sementara sekularisme menunjukansebuah hasrat untuk meraih kemutlakan melalui sains dan positifisme-logishingga dipandang sebagai sebuah “ideologi tertutup”. Melalui penelusuranterhadap akar gagasan sekularisme dan sekularisasi, beliau telah sampai padatelaah sekaligus kritiknya pada alur laju pemikiran Barat masa kini yang sedangberubah dari “rejim” positivisme logis (Modernisme) menuju “rejim”skeptik-relativistik yang menjadi penunjang utama Pascamodernisme.

Ulama kelahiranBogor ini secara jitu dapat melihat siasat pemikir semacam Harvey Cox yangdalam bukunya The Secular City (1965) memilah sekularisme dansekularisasi. Menurut para pemikir itu, meskipun kedua faham ini samamenghendaki peniadaan nilai-nilai ruhani dari alam (disenchantment of nature)dan penghapusan segala kesucian dunia politik (desacralization of politic)tetapi ada perbedaan di antara keduanya. Sekularisme telah menjadikan dirinyasebuah ideologi tersendiri dan menawarkan kemutlakan pandangan-wujud yangtertutup. Sementara sekularisasi menawarkan sebuah pandangan-wujud yang terbukadan bebas di mana segala nilai (termasuk nilai yang diangkut sekularisme)bersifat nisbi (lihat edisi ISTAC, hlm. 19).

Bila kita bacatelaah Prof. al-Attas ini, kita dapat melihat bahwa beliau telah mengantisipasibaik pengaruh positivisme-logis yang dibawa oleh sekularisme maupunrelativisme-historis yang termuat dalam sekularisasi. Yang pertama ialah dasarbagi alam fikir modern dan yang kedua ialah suatu trend pemikiran dari apa yangsekarang kita kenal sebagai Pascamodernisme.

Dua bagianawal Islām and Secularism dengan ringkas namun mendalammemberi kita gambaran utuh mengenai apa yang disebut sebagai Barat dan fahamapa yang menjadi asas pokok tunjang peradabannya. Hal ini penting untukdiketahui dan disadari oleh kita Kaum Muslimin. Telaah Prof. al-Attas mengenaiakar-akar metafisis-filosofis Peradaban Barat ini seolah menjadi pengingat bagikita Kaum Muslimin untuk bersiaga, bersiap dan waspada bagi kemungkinanmenyusupnya faham-faham mereka ke dalam alam berfikir Muslim. Sesuatu yangkini, 30-40 tahun setelah Islām and Secularism diterbitkan,kita hadapi di depan mata. 

Penelaahanterhadap asas pokok peradaban Barat ini kemudian disambung dengan kajian utuhmengenai Islām dalam bagian III: Islām: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. Monograf ini sebenarnya telah selesai ditulisdan kemudian diterbitkan pada tahun 1976. Di tahun berikutnya karya iniditerbitkan dalam bahasa Melayu dengan judul “Islām: Faham Agama dan Asas Akhlak”.

Monograf inikemudian disampaikan Syed Naquib dalam Mu’tamar Islam Antarbangsa(internasional), Majlis Islam Eropa, 5 April 1976, di Dewan Besar RoyalCommonwealth Society, London. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Worldof Islamic Festival yang salah satu sidangnya dipimpin oleh pemikir danpemimpin kaum modernis Islām dari Indonesia, Mohammad Natsir.

Selaindalam Islām and Secularism, monograf ini termuat juga dalam bukuberjudul The Challeng of Islām yang diterbitkan oleh Islamic Council of Europe, pada tahun 1978. Bukusuntingan Altaf Gaufar tersebut memuat karya Prof. al-Attas bersama makalahlain yang disampaikan dalam Festival Dunia Islām. Termasuklah karya Abu Ala Al-Maududi, Ismail Razi al-Faruqi, Abu Hasalal-Nadwi dan lain-lain. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia oleh Anas Mahyuddin dan diterbitkan Penerbit Pustaka (Bandung) pada1982. Dalam terjemahan Mahyuddin, monograf Prof. al-Attas diterjemahkan menjadiIslam: Konsep Agama dan Dasar dari Etikadan Moralitas”.

Prof. al-Attasmemulai pembahasan pada bagin ketiga ini dengan penelaahan semantik atasistilah dīn (yang berkait erat dengan kata-kata yang seakardengannya seperti dā’in, dayn, daynūnah, idānah, dāna, madīnah hingga tamaddun.Beliau berhasil menunjukkan bahwa makna berbagai kata tersebut sesungguhnyasaling berkait dan memuat dasar-dasar konsep dalam suatu pandangan-wujud (worldview).Oleh karena itu sesungguhnya agama bukan hanya seperangkat tata kepercayaan danperibadahan, tetapi ia juga merupakan suatu pandangan-wujud.

Istilah keadaanberhutang (indebtedness/dāna), penyerahan diri (submissiveness/ dānanafsahu), kuasa peradilan (judicious power/daynūnah), dankecenderungan alami (natural inclination/fiṭrāh) kemudian dijelaskanProf. al-Attas dalam kerangka ruhaniah. Bahwa manusia sesungguhnya berhutangkewujudan kepada Allāh, Sang Pencipta dan Pemelihara. Kewujudan manusiasesungguhnya hanyalah pinjaman” dari SangWujud Mutlak, Allāh Subḥanahu wa Ta’āla.Pengibaratan semacam ini memudahkan kita memahami kedudukan kewujudan makhluk,khususnya manusia, dihadapan kewujudan Tuhan.

Keberhutanganeksistensial ini ditelaah Prof. al-Attas melalui dua penjelasan. Pertama,melalui tautan akliah sebagaimana dikenal dalam tradisi ulama kalam. Hal inidilakukan dengan menimbang ayat al-Qur’ān, Surāh al-Mu’minūn [23]: 12-14. Bahwaseratus tahun yang lalu kita sebenarnya tidak ada. Tubuh badan kita dahulutidak ada dan sekarang ada. Merujuk pada ayat al-Muminūn tersebut, manusia sesungguhnya dijadikandari tiada menjadi ada (edisi ISTAC, hlm. 55).

Penjelasan kedua,ialah penjelasan yang bersifat lebih mendalam melalui telaah atas ayat al-Qur’ān,al-A’arāf [7]: 172. Sisi batin kewujudan manusia ditelaah Prof. al-Attas denganseksama. Di sini lah kita dapat melihat suatu pendekatan intuitif ruhaniah(berbeda dengan Descartes yang menekankan pada intuisi empiris) dalam memahamiwujud, yang masyhur dalam tradisi tasawuf. Bahwa sebelum kehadiran zahirmanusia di bumi ini, manusia berada dalam pengetahuan mutlak Allāh Subḥānahū waTa’āla “di alam alastu”. Di sana lah manusia bersaksi akan kewujudan Tuhan.

Manusia yangmampu menyadari hakikat kewujudannya akan menyerahkan diri sepenuhnya dengankhidmah, memperhambakan diri dengan suka rela kepada Tuhan. Sebagaimana seorangyang berhutang tunduk patuh pada kuasa sang pemberi hutang. Dan intipatikeberhutangan manusia ialah pada kewujudannya sendiri. Tak ada jalan lain bagimanusia selain menyerahkan diri sepenuhnya kehadapan Tuhan agar hutangeksistensial tersebut dapat ia kembalikan (lihat edisi ISTAC: hlm. 58).

Dan pengembaliansemacam ini ialah pengembalian yang menguntungkan manusia itu sendiri. Sepertihujan yang senantiasa kembali ke bumi dan membuat hidup (menguntungkan) bumiitu sendiri (al-Baqarah [2]: 164). Penghambaan manusia kelak akandiperhitungkan dan diberikan balasan yang adil di Hari Pembalasan atau yawmal-dīn dan dikenal juga dengan Hari Perhitungan atau yawm al-Ḥisāb.Siapa yang “mengembalikan” dirinya kepada Tuhan, maka di akhirat ia akanmendapat keuntungan.

Manusia yangtelah sampai pada hakikat penghambaan diri dihadapan Tuhannya, ialah manusiayang telah memenuhi tujuan kewujudannya, tujuan penciptaannya. Atau dengan katalain ia telah memenuhi kecenderungan alaminya sebagai hamba Tuhan. Ia telahmemenuhi fiá¹­rah penciptaanya. Manusia yang telah memenuhipersaksiannya “di zaman alastu”. Manusia yang telah menyerahkan dirinyasepenuhnya kepada Tuhan.

Aslama ialahkata yang mewakili penyerahan diri ini. Dan agama (dīn) yang menyatakanpenyerahan diri menyeluruh (istislām) kepada Allāh Subḥānahū wa Ta’āla adalah Islām, satu-satunya agama yang diterima di sisi Allāh (Alī Imrān [3]: 85 dan 19). Dalam Islām-lah dīn yang benar dan sempurna terjelma. Di dalamIslām, manusia dikenal sebagai hamba/abd (yang diberikan kewajiban untuk beribadah)sekaligus perwakilan /khalīfah Tuhan (dengan amānah untuk menegakkan keadilan) di mukabumi.

Dalam memenuhikewajiban dan amanah tersebut, manusia dibekali jiwa yang serupa dengan sifatgandanya: jiwa yang luhur (jiwa akali/al-nafs al-nāṭ­iqah) dan jiwa yangrendah (jiwa hewani/ al-nafs al-ḥayawāniyyah). Dalam kerangka diripribadi manusia, kuasa jiwa akali atas jiwa hewani, itulah salah satu maknakonseptual dari kata agama (dīn). Sementara kerelaan, ketundukandan kepasrahan jiwa hewani untuk senantiasa berada dalam bimbingan dan pimpinanjiwa akali itulah Islām

Pengendalian jiwaakali atas jiwa hewani, dan ketundukan jiwa hewani pada jiwa akali ini, akanmengantarkan manusia pada tujuan dan hakikat penciptaan serta kewujudannya. Iaakan mencapai keluhuran diri dan jiwa akalinya mencapai makam spiritual yang didalam al-Qur’ān (Surah al-Fajr [89]: 27:30) digambarkan sebagai al-nafsal-muṭ­ma’innah. Jiwa seorang hamba yang telah memenuhi dan kembalimenyadari persaksiannya kepada Tuhan “di zaman alastu”. Penyerahan diri atau ibādah di tingkat tertinggi ini juga bermaknailmu: ma’rifah. Suatu pengalaman mengintuisi wujud secara ruhaniah.

Hingga taraf inikita dapat melihat bahwa dalam Islām konsepsi wujud dan tatanan keilmuan tidaklah bertentangan, ia selaras dan harmoni. Teologi dan epistemologi takterpisahkan, tak bertentangan dan tak pula saling meniadakan. Islām akhirnya ialah suatu pandangan-wujud utuh yangdi dalamnya terkandung faham mengenai wujud (Tuhan), alam (maujud), manusia,wahyu dan kenabian, agama, ilmu, kebebasan, keadilan, dan akhirnya kebahagiaanyang kesemuanya saling berkaitan.

Bila kita telisikdengan seksama pemaparan Prof. al-Attas mengenai asas-asas pokok peradabanBarat pada bagian satu dan dua, serta mengenai Islām di bagian ketiga, kitadapat melihat beberapa perbandingan. Di dalam Islām, wujud bukanlah suatu hasil penalaran rasio atas dunia materi, wujudbukanlah suatu konsep yang dihasilkan dari abstraksi objektif. Wujud memilikirealitasnya tersendiri. Tuhan bukanlah hasil perenungan rasional atas gerak dankausalitas yang menghasilkan kesimpulan bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidakbergerak atau penyebab utama (penyebab yang tak bersebab). Dalam Islām Tuhanialah Maha Pencipta. Pun perihal agama (dīn). Di dalam Islām istilahtersebut sangat terkait dengan asal-usul, tujuan dan hakikat penciptaanmanusia. Sementara di dunia Barat agama dipandang lebih materialistik sebagaisesuatu yang menyejarah dan hadir dalam suatu proses kebudayaan.

Sebagai Muslimkita bisa menimbang perbandingan ini bukan hanya dalam kerangka studi komparasibiasa. Namun kita bisa melihatnya sebagai penafian gagasan sekular atas wujuddan peng-ithbat-an pandangan Islām atasnya. Proses penafi-ithbat-aninilah yang sesungguhnya penting bagi kita hari ini. 

3 bagianawal Islām and Secularism ini seharusnya kita renungi kembalidi zaman ini. Setelah 42 tahun kehadirannya, buku ini masih harus lagi terusdibaca dan diurai faham-faham di dalamnya. Sebab perbenturan antar worldview itumasih berlangsung hingga kini. Berbagai faham sekular terus menyelundup kedalam kehidupan Muslim, menciptakan suasana hidup yang pelan-pelanmenggersangkan keruhanian kita.

Namun kataperbenturan (clash) di sini perlu disikapi dengan bijak. Sebab kritikilmiah terhadap Barat bukan berarti suatu sikap antipati. Sebagaimanapenghargaan dan penghormatan kita terhadap pencapaian peradaban tersebut taksemakna dengan tunduk dan mengikut.

Prof. al-Attasmengajak kita untuk bersikap adil baik dalam fikiran, perbuatan maupun sikapbatin kita.

(Bersambung kebagian II)