LGBTTI dan Benturan Antar-Epistemologi
Bagikan

LGBTTI dan Benturan Antar-Epistemologi

Mencari titik temu persoalan LGBTTI memang sulit. Saling menahan diri pun menjadi muskil. Ada sebuah jalan keluar yang teramat sempit dari persoalan ini, yaitu berharap pada penegakan keadilan oleh negara.

Agama dan Rezim Ilmu Pengetahuan

Berbicara perspektif agama (khususnya Islam) mengenai persoalan tertentu di tengah arogansi ilmu pengetahuan (knowledge) memang sulit. Sejak Imanuel Kant memberi demarkasi antara kepercayaan dan ilmu pengetahuan, agama dan ilmu seolah tak dapat saling menyapa. Keduanya terpisah di ruang yang berbeda. Ilmu berada pada wilayah yang dapat diketahui serta yang real oleh karena itu dapat diuji kebenarannya; sementara agama ada di wilayah luar nalar dan luar realitas sehingga kebenarannya hanya bisa dipercayai tanpa diuji.

Pada era rezim positivistik, ateisme menjadi hal yang membiasa, dan agama (ditempatkan) menjadi sesuatu yang antikemajuan sekaligus anti-ilmu pengetahuan. Sekalipun agama yang terlibat pergulatan langsung dengan ilmu pengetahuan semacam itu ialah agama Kristen; meskipun pertarungan agama lawan ilmu pengetahuan itu terjadi di Eropa; walaupun di daerah-daerah Islam berkembang sebuah konsep ilmu yang berbeda; akan tetapi pandangan mengenai agama dan ilmu pengetahuan itu kemudian meluas dan menjadi pandangan umum. Semua agama dianggap tidak dapat berdamai dengan ilmu pengetahuan.

Pada era kini, rezim positivisme telah memudar. Ketegangan yang terlalu lama diakibatkan pandangan semacam itu telah melahirkan evaluasi total bagi tatanan ilmu pengetahuan yang positivistik itu. Pada sebuah sisi yang seolah-olah, kondisi ini memungkinkan beremansipasinya agama. Namun, pada sisi yang lebih nyata, semua hal yang masih meyakini kemutlakan coba dikeluarkan dari ilmu pengetahuan.

Agama tak dibiarkan hadir di keseluruhan kehidupan. Jika pun hadir, agama harus memangkas sekian banyak ajarannya. Agama seperti dibiarkan merasuki relung-relung pribadi kehidupan manusia. Limbah era modern yang menghasilkan manusia-manusia kurang iman dan kering nuansa spiritual telah mempersilakan agama untuk terlibat dalam kehidupan pribadi manusia. Tentu saja agama dalam konteks ini ialah sebagai penyejuk kondisi kejiwaan. Ini agama yang begitu klasik dipahami oleh Marxisme: candu bagi yang terasing. Agama di ruang publik tetap dicurigai sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam. Agama boleh hidup, tetapi hanya di kamar-kamar atau tempat ibadah. Di ruang umum dan apalagi ilmu pengetahuan, agama tetap dicurigai dan dipandang sinis.

Agama dalam tatanan ilmu pengetahuan tetap menjadi persoalan. Bagaimanapun, ada dua hal yang selalu tampil dalam wajah agama: hal-hal yang mutlak mengenai kebenaran, keadilan, dll; dan berita tentang keselamatan. Dua persoalan yang justru kian menjauh dari ilmu pengetahuan di era sekarang ini. Sebab, segala yang mengandung klaim “kebenaran”, kemutlakan, dan Kemahaan akan senantiasa diawasi sebagai memendam bahaya laten bagi kebenaran itu sendiri.

Ilmu pengetahuan di era ini lebih suka memelihara curiga terhadap segala jenis pengungkapan atas kebenaran. Seperti ada rasa frustrasi dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Setiap metode (seolah-olah) selalu membentur fakta bahwa itu tidak universal. Kebenaran seperti sesuatu yang liar dan tidak mungkin dijaring oleh apa pun. Kebenaran hari ini tidak sama dengan kebenaran esok hari dan berbeda pula dengan kebenaran tadi pagi. Kebenaran, keadilan, nilai, moral, selalu ditengarai sebagai terlibat dengan kekuasaan, hipokrasi, dan apologi untuk melanggengkan tirani.

Konstruksi kultural, dinamika sosial, atau pergulatan sejarah dianggap sebagai benih bagi lahirnya setiap kebenaran. Maka kebenaran memang ada, tetapi ia dapat kedaluwarsa dan digantikan dengan kebenaran lain yang lebih baru. Prosesnya ditangani hal-hal semacam tadi: konstruksi kultural, dinamika sosial, dan proses sejarah. Bagaimanapun, ini ialah sebuah doktrin yang di dalamnya penuh dengan kontradiksi dan persoalan secara epistemologis. Sebab, ia adalah ”the doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute”.

Ketika berhadapan dengan agama, tentu saja doktrin ini menjadi makin rumit. Bukan hanya untuk Islam, tetapi untuk agama yang lain juga. Vatikan mengeluarkan Declaration “Dominus Iesus” On The Unicity And Salvific Universality Of Jesus Christ And The Church pada Tahun 2000. Isinya secara tegas melawan relativisme dan yang di dalamnya tertengarai ajaran mengenai kesatuan agama-agama.

Pada akhirnya, perkembangan ilmu pengetahuan hari ini masih belum bisa saling menyapa dengan agama secara formal. Di universitas, agama memang diperkenankan hadir dalam bentuk-bentuk ritual dan diakomodasi dalam lembaga kemahasiswaan. Akan tetapi, dalam tatanan ilmu pengetahuan, agama masih disebut dengan nada sinis dan nyinyir. Penuh peyorasi, kecurigaan, dan tuduhan.

Islam dan Ilmu Pengetahuan

Islam sesungguhnya memiliki tatanan kebenaran yang khas dan unik, yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan ilmu pengetahuan sekuler, yang konsekuensi aksiologisnya berbeda dengan konsekuensi aksiologis ilmu pengetahuan sekuler. Pun dasar-dasar metafisiknya jelas berbeda dengan yang dirumuskan oleh para filsuf Barat.

Dalam sumber pengetahuan, misalnya. Tatanan keilmuan Islam menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan, bahkan merupakan sumber pengetahuan tertinggi. Wahyu merupakan komunikasi formal Allah SWT dengan manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, kebenaran, moralitas, keadilan, diketahui oleh Muslim melalui informasi yang terkandung dalam Al Qur’an. Selain tentu saja penguraian akal sehat, dan pengalaman yang jernih.

Hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan yang telah memperkarakan iman sebagai yang di luar nalar dan yang di luar realitas. Wahyu sudah dipensiunkan dari tatanan ilmu pengetahuan oleh kaum semacam ini. Maka setelah positivisme kelelahan mendefinisikan kebenaran, kini relativisme terantuk-antuk memaknai kehidupan.

Islam tetap berjalan dengan tatanan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya sendiri. Apa yang “Wujud” dan apa yang “menjadi” dapat diketahui sebagai ada yang benar; bagaimana dan dari mana kebenaran itu diketahui; dan untuk apa pengetahuan mengenai kebenaran itu diupayakan; tetap berjalan sebagaimana Islam itu berjalan. Apa yang benar dan bagaimana cara mengetahui serta pengamalannya tetap dilaksanakan oleh orang-orang Islam. Tentu saja dengan nilai-nilai kemutlakan tentang kebenaran, keselamatan, ketuhanan, dan nilai-niai mutlak lainnya.

Memang secara formal (khususnya di negeri ini), ilmu pengetahuan yang diakui dan disertifikasi oleh Depdiknas ialah ilmu pengetahuan sekuler yang dilembagakan lewat universitas, sekolah, ijazah, ujian nasional, gelar kesarjanaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagai entitas yang hidup dalam masyarakat Indonesia, tatanan ilmu pengetahuan Islam tidak pernah mati dan senantiasa langgeng dijalankan. Kaum Muslim tetap mengukur salah dan benar serta baik dan buruk melalui cara pandang Islam. Adapun perwujudannya dalam tindakan bernegara tentu saja mesti didialogkan dengan pemerintah dan sistem perundangan.

Maka berzina itu tetap salah dan arak itu tetap haram bagi orang Islam meskipun ramai-ramai dilaksanakan banyak orang dan pemerintah membiarkannya. Apa yang baik dan yang buruk bagi orang yang menganut tatanan berpikir sesuai tradisi keilmuan Islam tentu saja selalu berdasar pada Al Qur’an dan ajaran Nabi. Dan Tradisi keilmuan Islam memiliki kemampuan epistemik untuk menghadapi perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan yang partikular dengan memayunginya melalui yang universal. Yang mutlak senantiasa mendefinisikan yang berubah. Bukan sebaliknya.

Benturan Antar-Epistemologi

Ketika terjadi bencana alam (banjir, tsunami, gempa bumi, atau letusan gunung berapi), pendekatan dan pemahaman dari dua epistemologi ini tentu berbeda. Bagi yang sekuler, tsunami adalah kejadian alam biasa yang pendekatannya ialah fisika, geografi, ataupun geodesi. Sementara bagi orang Islam yang terbiasa dengan tradisi keilmuan Islam, tsunami dapat ditelaah (selain dari ilmu bumi) dari tindakan manusia yang merayakan maksiat, mengundang murka Tuhan.

Tentu saja antara satu cara memahami dengan cara memahami yang lain akan tercipta jarak. Yang satu akan menertawakan dan bersikap sinis terhadap yang lain. Ketika ditelaah lebih dalam, benturan antar-epistemologi ini bersifat permanen dan langgeng. Keduanya memiliki kemutlakan tersendiri yang saling berhadapan.

Maka dengan tatanan keilmuan yang berbeda, pandangan dua tradisi ini terhadap realitas pun tentu saja berbeda. Bagi yang sekuler, sekuntum bunga ialah sebuah fakta kimia, biologi, dan fakta fisika belaka. Bagi yang Islam, sekuntum kembang ialah fakta fisika, kimia, biologi, sekaligus tanda kehadiran Allah SWT. Ada pandangan yang berbeda bagi setiap realitas. Maka pun halnya dengan berzina yang bagi kaum Muslim adalah dosa sosial, sementara bagi yang sekuler dapat jadi ialah kebebasan individu. Cara pandang yang berbeda ini sesungguhnya lumrah dalam kehidupan.

LGBTTI dan Benturan Antar-Epistemik


anti lgbtBagi tradisi Islam, homoseksual (liwat) ialah suatu dosa yang sangat buruk. Pelakunya harus dihukum mati. Ini tentu saja terkait dengan tuntutan Tuhan yang memerintahkan manusia untuk senantiasa menciptakan harmoni. Islam memang memiliki pandangan yang keras terhadap praktik homoseksual. Bagi mereka yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis, Islam memerintahkan untuk mengembalikan orientasinya kepada fitrah. Sebab, jika dibiarkan, itu dapat mengundang murka Tuhan, merusak keharmonisan bermasyarakat, dan mengancam kesehatan jiwa orang lain.

Paragraf di atas tentu saja akan sulit untuk diterima bagi mereka yang memiliki tradisi sekuler dalam tatanan keilmuannya. Kaum Muslim sudah lama ditempatkan sebagai kaum homofobia (kaum yang memelihara kebencian terhadap golongan lesbian, gay, biseksual, transgender, transeksual, interseksual, atau biasa disingkat LGBTTI). Hal itu wajar saja. Bagi yang sekuler, kebebasan individu ialah hal yang harus dilindungi dan tidak harus ada pengekangan terhadap kebebasan itu. Sedangkan, Islam secara alami senantiasa hadir di keseharian kaum Muslim. Seorang filosof yang memang memiliki orientasi seksual homo pernah berucap: homoseksual salah karena yang berkuasa ialah yang bukan homo. Ini ialah bentuk lain dari kecurigaan terhadap kebenaran. Dalam kacamata Islam, hal ini bukan saja terlarang tetapi juga harus dilawan.

Di kalangan umat Islam di Indonesia, memang ada orang-orang yang mengais-ngais argumen dari Al Qur’an dan Sunah untuk melegalkan praktik homoseksual. Hanya saja, cara mereka mengais-ngais argumen terlalu ugal-ugalan sehingga kesimpulan yang didapat memang brutal. Oleh karena itu, pandangan mereka tidak terlalu menarik untuk dibahas.

Adalah sebuah fakta, kaum Islam dan mereka yang mempromosikan emansipasi bagi golongan lesbian, gay, biseksual, transgender, transeksual, dan interseksual memiliki cara pandang yang berbeda terhadap realitas lesbian, gay, biseksual, transgender, transeksual, dan interseksual itu sendiri. Cara pandang yang berbeda ini akan sangat sulit untuk didialogkan karena keduanya memang bertentangan secara permanen.

Hanya saja, dalam kehidupan sosial memang harus ada upaya-upaya yang lebih serius. Sebab, bagaimanapun, kita hidup dalam sebuah lembaga bernama negara. Bagi pengarus utama emansipasi LGBTTI, keyakinan Islam adalah ancaman bagi emansipasi dan kebebasan mereka. Sedangkan bagi orang Islam, praktik liwat (termasuk di dalamnya perbancian) tentu akan mengundang murka Tuhan, terlarang dan dosa besar. Mencari titik temu antarkeduanya memang sulit bahkan tak mungkin. Sebab, seperti sudah diuraikan tadi, perbedaan epistemik yang melatarinya bersifat permanen.

Mencari titik temu memang sulit. Saling menahan diri pun menjadi muskil. Ada sebuah jalan keluar yang teramat sempit dari persoalan ini, yaitu berharap pada penegakan keadilan oleh negara. Ketika negara membiarkan pandangan yang berbeda ini semakin saling menyakiti, maka percelotehan tentang intoleransi, kuasa mayoritas, dan tirani mayoritas akan selalu dituduhkan pada pihak Islam. Sikap negara dan pengambil kebijakan amat penting. Negara harus tegas memilih, membiarkan cara pandang terhadap maksiat sebagai kebebasan individu atau mendukung ajaran Islam menjaga kesehatan bermasyarakat.